Jumat, 15 Juli 2011

'PEMAHAMAN' BUDAYA DAN AGAMA

PEMAHAMAN BUDAYA DAN AGAMA
Versi Nenden Salwa
Foto Nenden & Fauzan Salwa

Semua negara di seluruh pelosok dunia mempunyai Budaya yang harus dipertahankannya demi keutuhan bangsanya. dengan budaya kita akan dipandang sebagai kewibaan milik bangsa atas warisan leluhur mengokohkan apa yang telah dirintis dan diperjuangkan sebagai cipta rasa, karsa menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa punya Negara.

Namun Era sekarang ini, budaya itu menghilang seperti dihempas gelombang entah kemana menepinya? 

Para ahli khotbah mengeluhkan bahwa budaya kita ini tergadaikan akibat arus budaya luar dan mendominasi pada seluruh bangsa ini. 
Dikeluh kesahkannya bagaimana era sekarang; remaja, tua, muda mudi sudah terbiasa mengenakan celana panjang/pendek bahan jin ketat. 
Deceritakannya juga  para Muslimah yang mengenakan pakaiannya hingga mencetak lekuk tubuh seorang wanita, menggambarkan keseksian. 

Kita kembalikan pada Raja Pajajaran yang tidak mau mengikuti anaknya Kian santang yang ingin mengislamkan ayahnya. 
Prabu Silihwangi dengan tegas  menolaknya dan ia tidak melarang anaknya masuk agama Islam. 

Dalam perdebatan agama. 
Raja Pajajaran, bukan bearti beliau merasa dirinya adalah seorang Raja yang tidak boleh tunduk pada ajaran agama Islam yang sudah disempurnakan Kanjeng Rasull Nabi Muhammad s.aw.    
Tetapi Prabu Siliwangi atas wangsitnya juga sudah mengetahui kejadian yang akan datang. Dimana keyakinan Kian Santang sedikit demi sedikit akan mengikis kekayaan macam ragam budaya dari sabang sampai meroke. 

Prabu Siliwangi dan Kian Santang dipertemukan di alam Marcapada untuk menselaraskan dari masing-masing keyakinan menjadi sepemahaman pada titik nilai budaya.

"Lihatlah Kian Santang, darimana dan harus bagaimana memulihkan keragaman budaya kita? musik tadisional dan peralatannya sudah tergantikan dengan musik gambusan yang sekaligus melenyapkan pakaian-pakaian adat kita?"

Kian Santang pun yang dulu lantang menyuarakan keyakinannya, merenung dan tertunduk sedih melihat negerinya jauh dari peradaban dan budaya. Kemudian ia berpikir pada kedalaman jiwanya. 

"Sebenarnya inilah yang aku takutkan Kian Santang bukan masalah keyakinan. Lalu bagaimana menurut pandanganmu untuk bisa mengembalikan budaya warisan moyangmu jika sudah seperti ini? sementara salah bicara dan salah pengertian sedikit saja masalah agama, bisa menjadi anarkis? Aku tidak pernah melarang masuk agama manapun pada siapa saja, karena kita berpancasila sebagai perlambang burung garuda yang gagah perkasa dengan cakarnya. Tapi dengan keyakinan yang sudah disempurnakan Kanjeng Rassul ini bisa mengundang tumpah darah jika kita ingin mengembalikan budaya kita."

Kian Santang tidak bisa menjawab ia terus merenung memikirkan budaya yang sudah hilang. 
Pikiran Kian Santang menerawang mengenangkan pertemuannya dengan Baginda Ali yang membekalinya ilmu sejati yaitu ajaran agama Islam yang langsung diyakininya. Akibat pada tempo itu Kian Santang kalah dalam mengadu kesaktian kemudian tidak bisa mengambil tongkat yang ditanamkan di tanah oleh Baginda Ali.

Kian Santang merasakan padang pasir itu begitu tandus  dengan udara menyengat dan tiada pepohonan  sama sekali. Maka untuk melindungi keadaan di sana serta menjaga kesehatan, tentulah seluruh penghuninya diwajibkan untuk  berpakaian yang bisa menutupi seluruh tubuh dan wajahnya. 

Jauh sekali dengan kehidupan negerinya sendiri yang sejuk, asri dipenuhi penghijauan alami. Yang tidak mengharuskan para penghuninya mengenakan pakaian seperti orang2 yang tinggal di padang pasir, tempat tinggalnya Baginda Ali. 
"Kau tahu kian santang, apa yang diamanatkan langit padaku?" ucap Prabu Siliwangi menatap putranya dan bertutur lagi "Pisahkan  antara aturan Negara dengan aturan agama... Bukan bearti kita melupakan ajaran para Rassul.. Karena kitab dan alqur'an merupakan pedoman, tuntunan buat pengikutnya dan kita tentunya harus menegakkan syariatnya."

Prabu Siliwangi menceritakan asal muasal para leluhur pembawa budaya dari para raja-raja terdahulu. Setiap raja-raja terdahulu diberi titisan para dewa, dewi langsung dari khayangan. Khayangan adalah tempat syurga yang bisa menyatu dengan sang Kholik. Dewa, dewi di langit tentunya para Malaikat dan para bidadari. Dan jika bisa menembus, pada rahasia besarNya. Pada hakikatnya para raja, ratu, dewa dan dewi menyinggahi setiap ayat-ayat yang terjamin kesucianya.
Sekarang kita kembalikan pada Budaya leluhur tersangkut pada satu ayat suci alqur'an mengenai pakaian muslim. 


"Kian Santang, bagaimana ayat itu agar tetap bisa dijadikan pedoman langkah hidup? akan tetapi.., bagaimana  supaya ketentuan ayat  itu tidak menyalahi Budaya leluhur dalam kelanggenganNya? coba kerahkan ilmu sejatimu, tembusi kerajaan langitmu.." Perintrah Baginda Raja Pada putranya Kian Santang.

Kian Santang yang mempunyai kesaktian tembus ruang dan waktu menuju kursi Arrasi menyatukan jiwanya pada Raja di Raja, Raja Maha Agung dan Maha Bijaksana. Penyatuan zat yang sempurna membimbingnya pada kalam ilahiah. Dan jawabannya hanya 'pemahaman'.


Pemahamannya Kian Santang: 
Allah menyenangi berbusana muslim agar menutup semua aurat tubuh wanita itu merupakan tindakan dari perbuatan. Dimana kaum hawa harus menjaga kehormatannya dan bersikap layaknya seorang wanita yang mempunyai nilai-nilai leluhur sebagai peradaban lama yang juga sudah terkikis habis di era zaman sekarang. Karena jikapun para wanita mengenakan pakaian muslim namun tidak memiliki nilai leluhur sama dengan mencoreng aturan agamanya itu sendiri. Itu akan lebih berat dibanding para wanita berpakaian biasa tetapi memegang amanah sebagai wanita sejati titisan para dewi.

Prabu Siliwangi mengangguk pertanda setuju. "Kian Santang, lalu bagaimana engkau akan menyampaikan kesepakatan pada bangsamu yang mayoritas beragama seperti keyakinanmu? supaya juga tidak salah akan pemahamannya mengenai agama. Sementara bangsa ini punya kewajiban harus mengangkat budaya leluhur itu tadi?"
" Mudah" jawab Kian Santang dengan tenang.

Prabu Siliwangi menatap Kian Santang pada ke dalaman jiwanya.

"Semua harus diberi pemahaman sesuai aturan yang berlaku di Negara ini sebagai penyatuan bangsa yang dilandasi Pancasila dan dikembalikan pada Tut wurihandayani."

"Jika mudah maka lakukanlah!" Perintah Baginda Raja berharap, "karena setelah budaya leluhur terangkat. Para dewa, dewi akan bermupakat untuk menggali kekayaan milik bangsamu. Hanya saja persyaratan sebagai perjanjian alam pada seorang manusia harus dibuktikan. Alam hanya meminta separuh kekayaan terbagi dua untuk penyeimbangan bumi pada satu negara adidaya"

"Mudah juga" jawab Kian Santang semakin tenang.
Prabu Siliwangi menatap kembali wajah anaknya.

"Itu juga sama dengan pemahaman" jawab kian santang.

 Kali ini Prabu Siliwangi kebingungan melihat ketengan putranya.

"Bagi Allah semua akan mudah, ayah.."

Prabu Siliwangi langsung mendebat. "Sudah aku katakan berkali-kali, pisahkanlah antara Allah dengan bangsa yang terpuruk dalam Negaramu... karena Allah tetap Allah, hamba engkau tetap hambaNya yang, harus bisa menyelesaikankan segala perkara antara manusia secara alam nyatanya. Ibarat do'a tanpa usaha tetap tidak akan mencapai satu tujuan.  karena do'a adalah pengantar langkah agar apa yang dituju bisa terlaksana." 

"Jika demikian saya akan meminta Allah menurunkan pemahamannya pada orang tersebut." Jawaban Kian Santang membuat Prabu Siliwangi berpikir.

"Jika pemahaman itu tetap tidak sampai pada orang tersebut?" Tanya Baginda Raja.

Kian Santang tersenyum nanar.
"Mudah juga.. " menatap Prabu Siliwangi "kiamatlah bagi Indonesia." Sambung Kian Santang sambil melempar  pandangan kosong, wajahnya terlihat lesu seolah melihat masa depannya yang tidak ada kehidupan lagi di negara tercintanya.

"Maksudnya?" Desak Prabu Siliwangi ingin mengetahui ketajaman jawaban putranya.

"Itulah pemahamanNya ayah. Karena jika tidak terulur separuh harta dari orang yang bersangkutan, maka para dewa, diwi bersedih hati. Bangsa tidak akan terselamatkan dari keterpurukan... Dan tangisnya seisi alam khayangan, menjadikan petaka besar. Laut diseluruh muka bumi akan dikeringkan dan ditariknya ke atas untuk dijadikan bahan airmatanya... "

Kian Santang dan Prabu  Siliwangi terdiam dalam kecemasan masing-masing. Dilihatnya dewa, dewi khayangan tengah menanti kepulangannya untuk menyampaikan berita keadaan bumi pada langit. 

Yang dalam tempo itu para penghuni planet tengah hampir selesai menggali  berbagai bocoran dari para intelejennya yang sengaja diturunkan guna mengetahui keadaan bumi. Para dewa, dewi menampakan kegelisahan karena jika isi bumi dilenyapkan, maka penghuni-penghuni planet akan turun membangun kerajaannya di bumi.

Akhirnya semua peradaban akan kembali  pada zaman es  dimana para penghuninya sebagai pemegang kunci rahasia, yaitu merupakan warisan leluhur titisan dewa, dewi. Kemudian bisa menghanguskan zaman keemasan yang ditunggu oleh seluruh isi penghidupan alam maya dan alam bumi. 


Kenapa zaman keemasan ditunggu seluruh isi alam ini?
Tidak ada yang tahu kenapa dengan zaman keemasan..
Bisa saja  para penghuni planet bisa berinteraksi dengan para penghuni bumi lewat orang-orang pilihan dari titisan para dewa, dewi.
Atau? entahlah...

Wallohuallam...

Ini Sekedar Cerita angan-angan buat teman-teman yang suka membaca bloggerku...


Terimakasih atas kesetiannya. 
Apapun bentuk tulisan mudah-mudahan bisa bermanfaat dan menjadikan bahan perenungan setelah itu.. Supaya bisa berpandangan ke depan untuk kehidupan para cicit sebagai generasi penerus...


Nenden Salwa 
Me and my son



Asal-Usul Harimau (Maung) Siliwangi

August 29, 2009 cuplikan dari BUDAYA NUSANTARA

Seperti diketahui, Pajajaran merupakan kerajaan hindu terbesar di Jawa Barat. Tidak begitu jelas siapa pendiri dan kapan berdirinya. Namun lokasinya diketahui di Bogor sekarang. Raja-raja yang pernah berkuasa diantaranya, adalah: Prabu Lingga Raja Kencana, Prabu Wastu Kencana, dan Prabu Siliwangi.

Di antara raja-raja tersebut yang paling termashyur adalah Prabu Siliwangi. Raja yang terkenal amat bijaksana ini beristrikan putri bernama Dewi Kumalawangi. Dari rahim istrinya ini lahirlah tiga orang putra, yaitu: Raden Walangsungsang, Dewi Rarasantang dan Raden Kiansantang.

Raden Kiansantang lahir di Pajajaran tahun 1315. Dia adalah seorang pemuda yang sangat cakap. Tidaklah heran jika pada usianya yang masih muda Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor kedua.

Konon, raden Kiansantang juga sakti mandraguna. Tubuhnya kebal, tak bisa dilukai senjata jenis apapun. Auranya memancarkan wibawa seorang ksatria, dan sorot matanya menggetarkan hati lawan.

Diriwayatkan, prabu Kiansantang telah menjelajahi seluruh tanah Pasundan. Tapi, seumur hidupnya dia belum pernah bertemu dengan orang yang mampu melukai tubuhnya. Padahal ia ingin sekali melihat darahnya sendiri. Maka pada suatu hari, dia memohon kepada ayahnya agar dicarikan lawan yang hebat.

Untuk memenuhi permintaan putranya, Prabu Siliwangi mengumpulkan para ahli nujum. Dia meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan siapa dan dimana orang sakti yang mampu mengalahkan putranya.

Kemudian datang seorang kakek yang bisa menunjukkan orang yang selama ini dicari. Menurut kakek tersebut, orang gagah yang bisa mengalahkan Raden Kiansantang ada di tanah suci Mekkah, namanya Sayidina Ali.

“Aku ingin bertemu dengannya.” Tukas Raden Kiansantang.
“Untuk bisa bertemu dengannya, ada syarat yang harus raden penuhi,” ujar si kakek.
Syarat-syarat tersebut adalah:
  1. Harus bersemedi dulu di ujung kulon, atau ujung barat Pasundan
  2. Harus berganti nama menjadi Galantrang Setra
Dua syarat yang disebutkan tidak menjadi penghalang. Dengan segera Raden Kiansantang memakai nama Galantrang Setra. Setelah itu ia segera pergi ke ujung kulon Pasundan untuk bersemedi.

Pergi Ke Mekkah
 
Tak dijelaskan dengan apa Galantrang Setra pergi ke Mekkah. Yang pasti sesampainya di Arab beliau langsung mencari Sayidina Ali.
“Anda kenal dengan Sayidina Ali?” Tanya Kiansantang pada seorang lelaki tegap yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Kenal sekali,” jawabnya.
“Kalau begitu bisakah kau antar aku kesana?”
“Bisa, asal kau mau mengambilkan tongkatku itu.”

Demi untuk bertemu dengan Ali, Kiansantang menurut untuk mengambil tongkat ya tertancap di pasir. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika mencoba mencabut tongkat itu ia tak berhasil, bahkan meski ia mengerahkan segala kesaktiannya dan pori-porinya keluar keringat darah.

Begitu mengetahui Kiansantang tak mampu mencabut tongkatnya, maka pria itu pun menghampiri tongkatnya sambil membaca Bismillah tongkat itu dengan mudah bisa dicabut.
Kiansantang keheranan melihat orang itu dengan mudahnya mencabut tongkat tersebut sedang ia sendiri tak mampu mencabutnya.

“Mantra apa yang kau baca tadi hingga kau begitu mudah mencabut tongkat itu? Bisakah kau mengajarkan mantra itu kepadaku?”
“Tidak Bisa, karena kau bukan orang islam.”
Ketika ia terbengong dengan jawaban pria itu, seorang yang kebetulan lewat di depan mereka menyapa; “Assalamu’alaikum Sayidina Ali.”

Mendengar sapaan itulah kini ia tahu bahwa Sayidina Ali yang ia cari adalah orang yang sedari tadi bersamanya. Begitu menyadari ini maka keinginan Kiansantang untuk mengadu kesaktian musnah seketika. “Bagaimana mungkin aku mampu mengalahkannya sedang mengangkat tongkatnya pun aku tak mampu,” pikirnya.

Singkat cerita akhirnya Kiansantang masuk agama islam. Dan setelah beberapa bulan belajar agama islam ia berniat untuk kembali ke Pajajaran guna membujuk ayahnya untuk juga ikut memeluk agama islam.

Usaha Kiansantang Mengislamkan Ayahnya
 
Sesampainya di Pajajaran, dia segera menghadap ayahandanya. Dia ceritakan pengalamannya di tanah Mekkah dari mulai bertemu Sayidina Ali hingga masuk islam. Karena itu ia berharap ayahandanya masuk islam juga. Tapi sayangnya ajakan Kiansantang ini tak bersambut dan ayahandanya bersikeras untuk tetap memeluk agama Hindu yang sejak lahir dianutnya.

Betapa kecewanya Kiansantang begitu mendengar jawaban ayahandanya yang menolak mengikuti ajakannya. Untuk itu ia memutuskan kembali ke Mekkah demi memperdalam agama islamnya dengan satu harapan seiring makin pintarnya ia berdakwah mungkin ayahnya akan terbujuk masuk islam juga.

Setelah 7 tahun bermukin di Mekkah, Kiansantang pun kembali lagi ke Pajajaran untuk mencoba mengislamkan ayahandanya. Mendengar Kiansantang kembali Prabu Siliwangi yang tetap pada pendiriannya untuk tetap memeluk agama Hindu itu tentu saja merasa gusar. Maka dari itu, ketika Kiansantang sedang dalam perjalanan menuju istana, dengan kesaktiannya prabu Siliwangi menyulap keraton Pajajaran menjadi hutan rimba.

Bukan main kagetnya Kiansantang setelah sampai di wilayah keraton pajajaran tidak mendapati keraton itu dan yang terlihat malah hutan belantara, padahal dia yakin dan tidak mungkin keliru, disanalah keraton Pajajaran berdiri.

Dan akhirnya setelah mencari kesana kemari ia menemukan ayahandanya dan para pengawalnya keluar dari hutan.

Dengan segala hormat, dia bertanya pada ayahandanya, “Wahai ayahanda, mengapa ayahanda tinggal di hutan? Padahal ayahanda seorang raja. Apakah pantas seorang raja tinggal di hutan? Lebih baik kita kembali ke keraton. Ananda ingin ayahanda memeluk agama islam.”

Prabu Siliwangi tidak menjawab pertanyaan putranya, malah ia balik bertanya, “Wahai ananda, lantas apa yang pantas tinggal di hutan?”
“Yang pantas tinggal di hutan adalah harimau.” Jawab Kiansantang

Konon, tiba-tiba prabu Siliwangi beserta pengikutnya berubah wujud menjadi harimau. Kiansantang menyesali dirinya telah mengucapkan kata harimau hingga ayahanda dan pengikutnya berubah wujud menjadi harimau.

Maka dari itu, meski telah berubah menjadi harimau, namun Kiansantang masih saja terus membujuk mereka untuk memeluk agama islam.

Namun rupanya harimau-harimau itu tidak mau menghiraukan ajakannya. Mereka lari ke daerah selatan, yang kini masuk wilayah Garut. Kiansantang berusaha mengejarnya dan menghadang lari mereka. Dia ingin sekali lagi membujuk mereka. Sayang usahanya gagal. Mereka tak mau lagi diajak bicara dan masuk ke dalam goa yang kini terkenal dengan nama goa Sancang, yang terletak di Leuweung Sancang, di kabupaten Garut.
Fauzan Salwa  & Nenden Salwa






2 komentar:

  1. terima kasih mbk..ini kisah yg menanamkan penting'a sebuah keyakinan untuk diri kita..untuk tetap tetap meyakini apa yang kita yakini..sesuatu yg prinsip dari setiap pribadi yang tidak mungkin untuk dipaksakan..hanya dengan toleransi..dan kebijaksanaan bisa saling mengisi..makasih mbk bloger yg berkesan bwt saya,,:)

    BalasHapus
  2. Makasih Arin, sudah meneympatkan waktu mengunjungi bloggerku bahkan membaca tulisan2 yg tidak seberapa ini.. namun di judul2 lain Genggam Bumi merangkul Langit, Ibuku Bumi Bapakku Langit, Bahasa Langit Ucapan Bumi... yg sengaja saya copas sekiranya dpt menjadi wawasan buat kita...

    BalasHapus