Minggu, 29 Mei 2011

KISAH NYATA "MENCARI CINTA ABADI DI BUMI" (2)



SENANDUNG LANGIT TARIAN BUMI



GEMPA ACEH BAGIAN SELATAN






JIWA DALAM KESAKITAN
Mengalami hal terburuk ‘penyakit’ pikiran menembus empat kekuatan alam. Seakan mereka para mahluk alam bekerja sama untuk membelah bumi menjadi dua bagian. Dari Timur ke Barat, Barat ke Timur. 
Urat-urat syaraf dari kepala berasa ngilu menelusur segala persendian. Berbagai bentuk rupa menyeramkan, bersembunyi di balik tubuh yang menggelitik menjadi duri-duri tajam mencari jalan keluar lewat pori-pori kulitku.


Sinar matahari menyilaukan pandangan ketika jendela kamar yang selalu tertutup rapat kubuka lebar-lebar.
Pagi gersang itu. 
Petugas PLN Girtung Dursasana tengah memperbaiki NCB.
Ya, waktu itu Listrikku nge-drop telat bayar.
Ada yang menarik dari balik penampilan cuek, rambut kribo tak terawat, kulit hitam dekil terkesan energik dari kelincahan jemarinya mengutak-atik peralatan listrik yang tersedia dalam tas ikat pinggang kumalnya.

Terngiang perkataan ibu Yudistira di telingaku.
“Ibu do’akan! agar si Drupadi dapat jodoh yang segala-galanya, lebih baik dari Yudistira”.
Aku mengulum senyum.
“Pasti cowok dekil ini yang lebih baik dari Yudistira” pikirku.

Terbayang sosok Yudistira seandainya ia seorang petugas PLN. Apakah penampilannya juga akan seseronok seperti ini?.. 

“Ah, Yudistira! engkau selalu saja mengirimkan pasangan aneh disaat jiwa ingin berontak dan menghilang darimu”. 

Kucari kelebihannya dari laki-laki yang mengenakan batu cincin segede mata sapi, seperti dukun.
“Siapa tahu bisa mengobati penyakit jiwaku”. Pikirku berharap.

Cerewet masih merasa terhina dengan kejadian kemarin ketika menghadapi kelompok Ibu majelis Ta’lim. Rombongan Ibunya Yudistira yang membuatnya merasa tidak bisa jadi pahlawan untuk menolong belenggu cintaku terhadap Yudistira yang tidak ada kabar berita sama sekali.

 Cerewet mengingnkan aku melupakan sosok Yudistira. Di suruhnya aku mencari laki-laki yang bisa menghibur hatiku meski sekedar cinta sesaat.

“Biasanya jika aku nyeleweng suka terjadi bencana besar si” tukasku singkat.
Cerewet garuk-garuk kepala ‘pasti menganggapku stres’

Kuperhatikan Girtung Dursasana menyelipkan rokok kretek di kuping, mulutnya menjepit sepotong kabel, jemarinya terkadang mencabut-cabut bulu hidung. 

Aku tersenyum geli, lucu lhat penampilan seronoknya. Kemudian tersimpul ketika petugas itu membalikan tubuhnya kearahku yang berdiri di belakangnya. 
 
“Gimana?” tanyaku.
Petugas itu gugup, mengerlingkan kedua matanya.
“Mhm … udah si” jawabnya tergagap. 
Sejenak kami bertemu pandang, ada sesuatu di balik bola matanya yang belo.

Terlintas adegan sebuah film ‘Sidarta Gotama’ apabila rambutnya diikat pasti wajah berkarakter itu mirif tokoh tersebut. Siapa tahu juga laki-laki dekil ini reingkarnasi ‘Budha’ yang memikirkan umat manusia di muka bumi.

Aku teringat ruang atas, lampu-lampunya pada mati.
“Tolong mas lampu-lampu di atas mati semua”
Girtung Dursasana mengerling ke ruang dalam.
“Ayo”
Ajakku menggiringnya naik tangga.


Matahari mulai tenggelam.
Hampir dua jam Girtung Dursasana mengerjakan pekerjaannya di atas ditemaniku.
Suasana mulai akrab, terpancing pada cerita-cerita misteri ilmu-ilmu ghaib. Girtung Dursasana menceritakan juga tentang istrinya berselingkuh. Pergi meninggalkan ketiga anaknya yang sekarang tinggal bersama kedua orang tuanya di kampung. 
Aku yang sudah jenuh hidup di kota menawarkan diri.
“Asyik kali ya tinggal di desa, aku ingin sekali tinggal di pedesaan.“
Girtung Dursasana menyelidik perkataanku dengan pandangan mulai aneh.
 “Udah sumpek!“
Tiba-tiba saja diri merasa tercekam. Ingin sekali aku berada dalam pelukan Girtung Dursasana  sekadar menghilangkan bayangan Yudistira yang selalu melintas dihadapanku. 

Girtung Dursasana memincingkan mata mensinergikan alam batinnya, membaca keadaanku 
“Jiwamu tengah tergoncang“ 
“Yah, aku ingin mati saja,“ keputus-asaan terlontar begitu saja dari mulutku. 
Diri seakan berada dalam jeruji penjara berpintu baja yang siap menghimpitku hingga mati.
Girtung Dursasana menarik lenganku.
“Maaf ya“ 

Tiba-tiba saja Girtung Dursasana  menotok syaraf pergelanganku.
 “Auwh … sakit “ rintihku.

Sekilas pikiran bawah sadar menembusi mahluk-mahluk menyeramkan yang bersarang di kedalaman bumi paling bawah. Mereka  siap menyerang dengan kekuatan terdahsyat. Rasa sakit dan kesemutan menjalar seluruh tubuhku.
 
Girtung Dursasana tidak berhenti monotok bagian-bagian syaraf pusat sambil memperhatikanku yang belum sadar. 
 “Wwaouuww !” Rintihku semakin kesakitan.
Jiwaku seolah mengikuti arus deras di putaran gelombang besar. 
Ketika Girtung Dursasana hendak menyentuh bagian tubuhku. Bayangan Yudistira muncul. Reflek kudorong tubuh Girtung Dursasana keras-keras. 

“Enggak, udah!” bentakku.
Girtung Dursasana bingung menatapku penuh selidik.
“Bener kamu harus diobati secepatnya,“ tegasnya.
Aku terdiam. Rasa sakit berubah manjadi kebencian.
Kuperhatikan Girtung Dursasana berjalan lebih cepat mendahului menuruni tangga.


 MENCARI KETULUSAN CINTA

Kulempar pandangan ke atas awan.

Dari ketinggian langit terlihat seorang Raja tinggi besar muncul. Bertahta mahkota berlian memperhatikanku. Kemudian gambaran Raja itu memudar berubah menjadi Yudistira.
Tidak berapa lama menjadi pangeran muda dengan kuda putihnya diikuti pangeran-pangeran rupawan lainnya. 
Pemunculan gambar-gambar di langit, mengingatkanku pada pra stunami Aceh.

Semua kenangan indah bercampur getir bermunculan. Membawa semua gambaran kehadapanku.
"Ya, kejadian enam bulan sebelum tsunami"
Tempo itu aku tengah terbius alam perjudian yang menghabiskan seluruh harta bendaku demi mencari sosok Yudistira. Dimana seorang anak buah Yudistira menyampaikannya padaku melalui telepon. Bahwa Yudistira tengah terperosok di meja perjudian dan menungguku.

Dua tahun sudah kumencari figur Yudistira dalam perjudian kasino. Malah mesin perjudian menjadi alat mediator penyambungku pada alam semesta yang membongkar segala bentuk rupa keburukan alam pemerintah mengenai penyelewengan dana-dana yang ternampak sebagiannya di tempat perjudian.

Saat itulah asmaraku bergejolak pada seorang laki-laki berusia di bawahku. Bernama Brahma seorang anggota intel polres.
  Entah jiwa yang mana memperhatikan Brahma seakan melihat figur Yudistira. 
Bisa saja alam menunjukan pada figur laki-laki lain demi sebuah tugas rahasia yang tidak pernah kumengerti. Atau bisa saja jiwa lain yang singgah padaku marah, akan pengejaran Yudistira yang selalu memberi sinyal-sinyal kebingungan secara pesan berantai. Membuat jiwaku tidak pernah tenang dan selalu ketakutan seakan Yudistira akan mengerangkengku di ruang gelap penuh kalajengking dan kelabang… 

"Di mana Yudistira? ayo cari dong!" Tantang anak buah Yudistira yang seakan menerorku setiap saat melalui telepon rumahku. “Jika Yudistira orang sakti, punya power,  matanya tersebar di mana-mana, maka kekuatanmu apa?“ sambungnya lagi mempertanyakan. 
Patinya Yudistira menyuruh anak buahnya untuk mengungkap segala kebodohahanku. Membuat jiwaku berontak menembus ruang kehampaan.  
“Kekuatanku hanya Allah!“ jawabku mengakhiri kalimat, menutup telepon.

Diri yang tidak punya kekuatan apa-apa, tidak ada yang bisa kubanggakan. Tidak juga punya tempat mengadu jika ada sesuatu terjadi padaku yang jauh dari rasa kasih sayang sebuah keluarga. 
Hidupku adalah kesendirian termasuk kematian pun akan kesendirian.
Inginnya aku berteriak memanggil Yudistira agar ia mengerti keadaanku setiap telepon itu berdering.

"Ini aku Yudistira, yang hanya punya cinta dari ketinggian langit hanya untukmu, tapi aku takut memulai cinta yang begitu mempesonakan.. Aku begitu mencintaimu tapi kesombonganmu telah memperdayakanku.. membuat jiwa dan ragaku begitu tersiksa.. ya Tuhan?!" 
Jerit batin menembus dinding waktu. 
Terdengar lagi anak buah Yudistira mengsusikku membicarakan keadaan Yudistira yang sangat mengkhawatirkan. 
Jiwa menjadi kesakitan. Kubanting telepon lalu kucabut  saluran kabelnya hingga telepon rumahku tidak  mengeluarkan bunyi lagi. 

Hari-hari menjadi panjang memikirkan hal terburuk akan terjadi padaku membuat aku ingin mendekatkan diri pada Sang Maha Pencipta.

"ya, Allah beri aku kekuasaanMu untuk menunjukannya pada Yudistira, bahwa kekuatan Engkau ada di belakangku..."  

Semenjak itu, aku terlena pada shalat2 malam juga pada wirid yang menghabiskan seluruh waktuku.

Entah terdorong jiwa yang mana? begitu inginnya membuktikan ucapanku terhadap anak buah Yudistira. Atas petunjuk ghaib seiring sinyal-sinyal Yudistira  yang akhirnya mampu memutar haluan langkahku  menjelajah dunia pesantren ke pesantren. 
Namun di tengah perjalanan, jiwaku tergoda oleh ketampanan kiai muda bernama Arjuna. Seorang anak pemilik pesantren yang mampu membimbingku menuju cahaya.

Tidak salah jiwaku yang tengah terbius ayat-ayat suci memilih Arjuna sebagai penetralisir alam ghaib  yang tidak henti memberi gambaran-gambaran kalam ilahiah. Dan Arjuna yang sudah menguasai ilmu kitab serta nalar alqur'an,  selalu memberi pembuktian nyata dari ajarannya sunah rassul. 

Tidak salah juga akhirnya aku dan Arjuna saling membutuhkan satu sama lainnya. Hingga kami  berani masuk gerbang pernikahan kemudian dikaruniai putra, putri. Namun ternyata jodoh kami tidak panjang setelah anak keduaku meninggal. Akibat tindakan-tindakan Yudistira yang tidak pernah merelakan pernikahanku, termasuk juga jiwaku yang seakan merasa berdosa telah mengkhianati cintaku dari ketinggian langit. 

Sesudah perceraian itu terjadi. Yudistira tetap bersembunyi di balik layar untuk membuat jiwaku terombang, ambing. Malah diantara anak buahnya ada yang menuturkan bahwa, jodohku hanya Yudistira seorang. Tapi harus menunggu waktu. 

"Ya, Tuhan... sampai kapan jiwa kami bisa sama-sama  saling memberi dan saling menerima menuju satu atap, mungkinkah menunggu bumi terbelah dua? seperti yang Engkau perlihatkan selama perjalananku dalam kesucian, Nabi Musa membelah langit menembus bumi."

Jkt, 15 Agustus 2004
Lelah terasa menelusurimu
Dan aku memohon dalam do’a-do’a malam
Agar aku bisa mendapatkan figur sepertimu
Dari kalangan sederhana
Terjadilah perkenalanku sosok figurmu, saat ini
Tapi tidak bisa kumiliki
Hanya napas kecemburuan kian membara
Aku ingin kembali pada cinta yang sesungguhnya
Aku menanti cinta sesungguhnya


Entah apa yang diinginkan Yudistira dariku? membuat aku berontak ingin menghukum Yudistira dengan perlakuan sikapku. Yaitu mencintai seorang laki-laki ibarat mencintai Yudistira. 

Kuperhatikan lagi sosok Brahma yang berpenampilan dekil, tak bermateri, cuma menggunakan sepeda motor butut. Pikiran dan jiwaku kembali yakin intel polres ini memang jelmaan asli Yudistira yang tengah menyamar untuk membuktikan kesetiaanku.

Percintaan romantis seperti adegan film garapan ‘Zalmond King – Red shoe’s diary’ terjadi. 


Langit berbisik 
"Brahma adalah Yudistira, Yudistira bukan Brahma"
Suara ghaib mempengaruhi jiwa alam sadar, membuatku ingin menelusuri kebenaran. 


MENGALIHKAN CINTA DARI KETINGGIAN
 Di suatu malam di bawah guyuran hujan lebat aku melerai Brahma.

“Kamu bukan Yudistira!” Bentakku.
 “Siapa bilang, aku Yudistira?” jawabnya aneh. 
Aku terdiam, selama ini memang ia tidak pernah mengakui dirinya Yudistira.

Mencintai Yudistira seperti ‘Bumi menjangkau Langit’ maka kuperendah ukuran langit, kupaksakan tahta Yudistira di langit, turun pada figur terendah di bumi. 


Inilah awal mula aku mengenal Brahma di parkiran pasar Jatinegara. Tempo itu aku sudah kehabisan uang tidak bisa berlanjut di meja perjudian.  Tiba-tiba saja pikiran menjadi pengap  memperhatikan motor Brahma menghadang mobilku. 
“Parkir yang benar dong!” Tegurku.
Brahma tersenyum di balik topinya, menghampiriku lesung pipitnya mengingatkanku pada figur Yudistira. 
“Yudistira?” tanyaku, terperangah memperhatikannya.
 Brahma tersenyum simpul mengulurkan lengannya untuk berkenalan. 
"Ini benar-benar Yudistira" pikirku.

Kutarik lengannya, erat-erat kupegang. 
"Yudistira?" tanyaku lagi meyakinkan.
Brahma memperhatikanku aneh.
“Aku Brahma bukan Yudistira” tegasnya menjelaskan.
Aku tidak perduli kubawa Brahma naik mobilku. 
“Motorku bagaimana?” tanyanya kebingungan.
  Tidak ku perdulikan perkataan Brahma  saat jantungku berdegup kencang, hati tak menentu  terombang ambing keabadian cinta.
"Kapan lagi aku bisa membawa Yudistira?" pikirku  menghidupkan mobil. “Gak apa-apa nanti kesini lagi, temani aku bentar” sambungku pada Brahma sambil memberikan uang ribuan pada tukang parkir yang sibuk mengatur mobil-mobil yang mengahalangi mobilku.

Dalam perjalanan. Brahma bingung tak berkutik. 
Hatiku begitu senang seperti dapat royal doble murni. Keinginan menyetiri Yudistira terlaksana melalui Brahma yang menanyakan keberadaan sosok Yudistira. 

“Yudistira bentuk wajahnya seperti apa sih?” tanyanya penasaran.
Aku tertawa senang.
“Ya kamulah!”
Brahma tersenyum simpul.
“Ooh mirip aku toh, aku juga punya teman bernama Yudistira”. 
Aku diam berpikir mencurigai gerakan Yudistira lewat Brahma. Tapi jiwaku begitu yakin bahwa Brahma adalah Yudistira yang tengah menyamar. 

Semua kerinduan tertuangkan dalam lagu cinta yang sengaja kupentang dari tipe mobilku.  Beberapa mobil lalu lalang pun kusalib untuk menunjukan kelihaianku duduk dibelakang setir. Seperti juga kelihaian Yudistira saat beberapa tahun lalu membawaku keluar dari parkiran Diskotik, memasuki jalan toll panjang.

Dipersimpangan menuju jalan perkampungan, tiba-tiba aku menghentikan mobilku. Pandangannku terkecoh pada seorang tentara menghantam bonyok tukang ojek.
Kejadian tersebut, mengenangkanku pada peristiwa tragedi semanggi juga pada seorang buruh perempuan Marsinah yang mati terbunuh. Tempo saat kejadian Marsinah, aku berada di Medan  berbarengan  dengan kegiatanku mencari secuil berlian, menjalankan rutinitasku sebagai penyanyi malam.

“Hai, keluarin dong powermu!” tegasku mengomando.
Brahma menyingkilkan lengan menarik perhatianku, menyembunyikan pistolnya di balik pingggang. 
Kuperhatikan selururuh gerakan Brahma turun dari mobil berjalan kearah tentara yang masih memukuli tukang ojek. 

Tiba-tiba sebuah bis berhenti menghalangi pandanganku. Kekesalanku kutumpahkan pada klakson mobilku yang membunyikan suara-suara panjang. Tidak berapa lama Brahma sudah dapat menenangkan suasana. Kuperhatikan tentara itu pergi dengan motornya sementara tukang ojek  di bawa beberapa orang masuk warung kopi. 
Kekaguman tersirat di wajahku saat melihat pengamanan demikian cepat, hati semakin yakin bahwa Brahma adalah Yudistira.   Aku tersenyum senang membukakan pintu mobil untuk Brahma. 


Hari-hari merenda terisi ceria bersama Brahma mendamaikan alam batinku.
Keinginan menyiapkan makan malam buat Yudistira pun terlaksana. Begitu pula perasaan rindu melangit ingin membahagiakan sang kekasih.

Seperti pada malam senyap. 
Hujan mengguyur tertiup angin membunyikan suara-suara di atap rumahku yang tengah menulis deretan puisi jejak sang Nabi ‘Khalil Khibran’ versi berdua.
Di depan lap-top itulah aku dan Brahma bertanya jawab melalui lantunan puisi-puisi indah.
Ya, malam itu jiwaku melihat sosok Brahma benar-benar asli Yudistira sehingga aku memancing arah percintaan yang melangit.

Hari terus merenda membariskan puisi-puisi cinta. Kemudian Brahma memperkenalkan aku pada ibunya yang tanpa sengaja ibunya Brahma menceritakan kejelekan istrinya Brahma. 
Aku begitu terkesan atas keramahan ibunya Brahma, yang setiap aku berkunjung ke villanya di Puncak Cipanas. Ibunya Brahma selalu menyempatkan diri memasak sesuatu untukku, meski tanpa Brahma di sampingku. Begitupun sebaliknya ibunya Brahma sangat terkesan atas kehadiranku. 

Diam-diam Ibunya Brahma sangat mengkhawatirkan jalinan kasih antara Brahma dan aku  bisa terbongkar oleh istrinya Brahma. Kemudian  Brahma akan tergoda olehku dan berani meninggalkan istri serta ke tiga anaknya  yang  masih kecil-kecil. Setelah itu akan berdampak pada pekerjaan Brahma sebagai pekerja PNS.

Meski aku sudah mengetahui lewat penulusuran keluarganya bahwa Brahma bukan Yudistira, jiwaku tetap terbawa keabadian cinta. 
Bahkan semua kenyataan yang aku hadapi, merupakan sususanan karangan cerita Yudistira untuk menguji kesetianku  yang harus aku pahami kedalamannya. Hingga pada akhirnya  sinyal-sinyal kecemburuan Yudistira melalui para anak buah serta koleganya, ditampakan.
Mereka semua begitu mengetahui pergerakan langkahku hingga yang terkecil sekalipun. Bahkan mengetahui tempat dan waktu kejadian, ketika aku melakukan drama percintaan bersama Brahma. 

"Siapa lagi yang bisa membaca pikiran tembus jiwa dan hati kalau bukan pangeranku Yudistira?" Begitu alam pikirku memberi jawaban pada Brahma yang semakin tidak mengerti perjalanan cinta sejatiku dengan Yudistira.

Rasa dipantau terlalu berlebihan. Aku semakin menunjukan percintaan lebih romantis meski rasa penyesalan mulai membebani pikiranku … 
Gambaran Istana langit dan kerajaan-kerajaannya mulai bermunculan, membuat jiwaku berontak. 

“Benar, kamu bukan Yudistira!” Ucapku lebih tegas  tanpa hirau hujan deras menimpa bajuku yang tak berjaket. “Kamu telah membohongi aku!?” sambungku menyalahkan .
“Kesalahanku apa?“ tegas Brahma balik bertanya.
Aku terdiam mencari kesalahan.
“Siapa yang memulai duluan?” sambungnya lagi.
Aku memandang Brahma mencari kesalahan seiring  titikan air mata menahan desakan tangis.
“Kamu tidak bisa telepati, jadi kita enggak akan pernah bisa nyambung!” timpalku tiba-tiba.
“Maksudnya?” tanya Brahma makin kebingungan.
Aku menggelengkan kepala antara sedih dan kecewa menyatu. Kemudian aku berlari menembusi hujan lebat, meninggalkan Brahma yang tengah mencoba menghidupkan motornya hendak mengejarku yang sudah menaiki taxi.

Setiba di rumah, aku menangis sejadi-jadinya memikirkan rasa bersalahku pada Yudistira .

Seiring kepedihan, gambaran Yudistira  muncul pada ketinggian langit  dan tubuhnya semakin besar. Lalu kemudian Yudistira berubah menjadi pangeran berkuda diikuti barisan-barisan kuda lainnya, juga pasukan AL Fiil  dan pasukan Al’Aadiyyat.
Pikiranku menembusi kekuatan langit hingga lapisan langit meretak menyongsong kehadiran bumi yang meminta permohonan.  

“Yudistira, tolong tugaskan Brahma ke Aceh!” jerit alam batinku menembus kekosongan bumi.
Jiwa tersambung pada keabadian cinta di alam penuh damai dalam gemerlap jutaan cahaya.




KEPERGIAN BRAHMA KE ACEH

Di tengah malam buta. Terdengar ketukan pintu dari luar. Brahma berteriak-teriak memanggil yang tidak aku hiraukan.
Kisah cinta indah menjadi hambar.

Jiwaku tertekan. Raga seperti berada di padang pasir tak berujung terhempas gelombang, berbuih.., menyisir pantai...

Berkali-kali Brahma datang berkeluh kesah. Memohon agar dirinya tidak ditugaskan pergi ke Aceh. Ia menceritakan ketiga anaknya yang perlu kehadirannya. Semua ungkapan Brahma membuatku gundah.

"Kenapa nyambung dengan permintaan batinku pada Yudistira di ketinggian langit?" Begitu setiap waktu jiwa mempertanyakan semua keanehan, tentunya Brahma tidak bisa menghindari tugasnya.

Irama musik Titanic menggiring langkah Brahma ketika terakhir kali menemuiku di rumah sekedar berpeluk cium mengantarkan kepergiannya menuju Pelabuhan Tanjung Priuk. Kemudian Brahma berlabuh menyebrangi lautan yang bersinggah-singgah. 
Beberapa  barisan sms dari Brahma berulang kubaca. Brahma bercerita mengenai seorang kekasih mati mengambang di laut luas. 

Tujuh hari kemudian, aku baru menyadari dan mulai merasa kehilangan sosok Brahma yang senantiasa menjadi penghibur rinduku pada Yudistira. 
Tidak ada lagi cerita jenaka mengenai semua kasus-kasus yang ditangani Brahma. Kasus tanah. Kasus maling. Kasus sendal jepit sampai kasus tutup mulut. Kasussahan..? diceritakan juga semuanya.

Terbiasa juga, apabila hujan lebat Brahma selalu hadir menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Rasa kesepian tanpa kehadirannya begitu menyakitkan. 

Semua kenangan indah hadir bersama bayang-bayang Brahma sehingga pikiran di bawah sadar kembali meyakinkan bahwa Brahma adalah Yudistira.

Bagai film ‘Titanic’ kekasih hilang ditelan gelombang.
Hatiku berkata: "Jangan, Yudistira tidak boleh jadi bangkai terapung di lautan luas!"

Jiwa berontak membawa raga ingin menyatukan diri pada alam. Pikiran menjangkau daerah Aceh lewat energi Brahma yang bisa menembusi beberapa peristiwa di Aceh mengungkap sejarahnya.

Beban pikiran ingin memantau perkembangan Brahma kupentangkan di beberapa Diskotik. Merupakan sebuah sarana alat komunikasi pada alam semesta juga pada orang-orang tertentu yang bisa menembusi pikiran alam batin dengan pembauran energi kekuatan cinta keabadian, di bumi.

Sudah terbiasa. 
Apabila aku masuk arena diskotik. Segelintir orang-orang yang mengetahui keberadaanku dalam tugas rahasia memberi kewenanganku. Melengangkan keramaian dengan penjagaan dari sinyal-sinyal Yudistira… 
Pada keadaan hiruk pikuk seiring suara musik ngejreng. Baru  pikiran dan jiwa bisa menyatu untuk  membuka berbagai rahasia alam langit dan alam bumi  menembusi kuasanNya ‘Ratu Adil’ sebagai pembuka alam semesta.

Lewat kekuatan pikiran. Ribuan juta cahaya membaur masuk alam pikirku dan mengolah sesuai petunjuk alam batin mempertanyakan segala keraguan. Setelah mendapat jawaban pasti sesuai kehendak alam batin, jutaan cahaya itu akan keluar lewat pikiranku untuk mentransfer dan memilih jiwa -jiwa pemimpin yang sudah terpilih sesuai tugasnya.
Alam berseru. 
"Jika ingin naik, kami tugaskan pembasmian para koruptor yang menjamur di Negeri tercinta ini." 
Jiwaku menemui jiwa pemimpin dalam kepastian alam cahaya. Pertanda jiwa sang pemimpin menyetujui beban tugas-tugas yang akan dihadapinya. Maka berjuta cahaya dalam pikiranku akan langsung  menembus masuk ke dalam pikiran seorang pemimpin serta membungkus jiwanya.

 Jika raga tengah bersemedi dalam keramaian. Maka jiwaku seakan berada dalam ruang sidang di alam terbuka yang disaksikan orang-orang kesucian dunia ghaib juga kesucian sekelompok orang-orang pilihan yang berdiri di atas kebenaran. ‘Netral alias jalan tengah’.

TEMBUS KERAJAAN LANGIT

"Komplik Aceh tidak bisa diselesaikan secara pemerintahan" 
Perkataan jiwaku mewakili perkataan ‘Alam Semesta..’
“Lalu dengan apa?“Tembusan telepati Yudistira bertanya pada jiwaku, membuatku tersenyum.
Jiwa berada di antara mereka.
“Hanya dengan kekuatan Allah“ tegasku memastikan.
“Caranya?” Tanya seorang yang mampu menembusi jiwaku.

Kubacakan kalimat-kalimat Asmaul Husna atas permintaan Alam. Yang dalam sekejap memperlihatkan  ayat-ayat suci Al-qur’an bermaujud, membentuk para Raja dan Pangeran bertahta mahkota gemerlap. Menyusul ratusan ribu pasukan berkuda dilengkapi persenjataan perang berbagai ragam bentuk rupa. 

Mereka semua masuk ke dalam pikiranku lewat jidat. Terlihat juga Nabi Musa diikuti Raja Fira’un beserta pengikut-pengikutnya turun dari langit termasuk para dewi-dewi jelitanya. 

Terakhir kulihat seekor Naga raksasa warna putih kapas, keluar membuyarkan gumpalan awan hingga  awan itu berterbangan seperti diterbangkan angin besar.
Aku membungkuk seakan Naga itu berada di atas kepalaku serta ribuan gajah-gajah serta burung-burung raksasa melemparkan batu-batu kecil bergerigil mengeluarkan bara api.

“Lihatlah, mereka semua akan pergi ke Aceh.“ Seruku tegas pada pematauan orang-orang tembusan telepati.. 

“Ah halusinasimu terlalu tinggi“ Yudistira menimpal tidak percaya.

Pastinya orang-orang yang bisa menembus alam pikirku  membuka semua gambaran, tidak akan pernah mempercayai.
“Lihat saja nanti kejadiannya“, jawabku tertawa kecil.

Tembusan pikiran beralih pada Brahma yang tengah bertugas di Aceh. Kemudian alam memberi  gambaran beberapa titik pengamanan dari rawan bahaya pertikaian. 

“Brahma mau mati“. Tembusan Yudistira membuatku sedih.
Aku tengadah pada suara melihat jiwa Yudistira yang berada di antara mereka. Lalu kupanggilkan jiwa Brahma yang langsung muncul.
 
“Brahma, apa kau dalam bahaya?“ tanyaku menatap jiwa Brahma berpakaian lusuh yang sering dikenakannya ketika bersamaku. 

Brahma tersenyum dingin.
Kulemparkan perkataan pada mereka. 
“Brahma tidak akan mati!“ tegasku.

“Seandainya Brahma terbunuh bagaimana?” tuding mereka.
“Aku akan menyelamatkan jiiwanya“, bentakku.
“Jika ada kematian di antara dua, pilih mana antara Yudistira dan Brahma.“ 
Jiwa seperti mengembara dibuai alam bebas.
Jiwa seakan menangis menembusi alam batin.
 
“Brahma membuatku senang dan Yudistira, adalah cinta abadiku... Keduanya tidak boleh mati“ jawabku tegas.


Pikiran menembusi pada hutang Negara menjadi beban bangsa. Beralih pada kebocoran gas alam akibat kebanyakan goyang nge-bor… kemudian pikiran menembusi penyakit-penyakit alam yang akan ke luar lewat udara. Pikiran menembus lagi pada  penyakit dari obatan-obatan kimia. Pada buruh-buruh. Pada DPR. Pada kabinet. Pada minyak yang akan meledak. Pada kapal yang akan tenggalam. Pada pesawat terbang yang akan mendapat kecelakaan dll.


Terakhir kasad mata melihat gelombang laut samudra yang semakin meninggi menghancurkan bangunan-bangunan kokoh.
Aku membuka mata menormalkan suasana kemudian menggerakan tubuh dan kepala membuang beban seiring musik house yang iramanya mengendur. 

‘Ya.., Maha Raja di Raja Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Guru di Guru… Maafkan diriku berada dalam keramaian’
Ghaib menjawab.
“Tugasmu berada di tengah antara Syurga dan Neraka”.

Aku mengangguk-ngangguk dengan goyangan semakin liar menyambungkan bahasa telepati pada semesta alam “Bimbinglah pasukanmu sesuai ayatnya,” suara Ghaib menyeru.

Aku berdiri di tengah arena diskotik memperhatikan sekelilingku .
"Wahai pengawalan akhirat di mana engkau?" tanyaku.
Aku melihat pengawalan akhirat mengelilingi tubuhku berkerudung kerucut berpakaian serba hitam menutupi wajah mereka.

“Hai pengawalan di bumi di mana kalian?“ tanyaku lagi pada cinta sejati di bumi.
Beberapa pengamanan kelompok Yudistira yang bisa telepati memberi ruang gerak pada suasana lengang menjadi padat... 

Diri begitu merasa nyaman terlindungi. Gerakanku semakin lepas mengikuti irama dibuai taburan kerlap, kerlip cahaya menghangatkan suasana.

Kasat mata melihat Yudistira dan Brahma bergantian muncul dihadapanku. Kemudian secara bergantian kulihat Istana Kerajaan gemerlap dengan pangerannya.

Jkt,15 agustus 2004
KerajaanMu telah datang
dalam gambaran-gambaran keagunganMu
KebesaranMu …
Maha Megah, Maha mengadili dan meng-akhiri
Harus kurelakan
 apa yang terjadi atas penglihatanMu padaku
Maka aku mohon ampunanMu ya … Robbi
Selamatkanlah kedua kekasih hatiku ini
Walau siapa dia ..
 seperti apa cintanya padaku
Aku hanya ingin mereka berdua ada dalam rahmatMu selalu



Kelopak mata kembali perlahan terpejam seiring kepadatan menyingkir di sekelilingku, memberi ketenangan jiwa seiring kerlap-kerlip lampu laser melengkapi sarana meditasiku. Aku pun kembali menggoyangkan kepala mengikuti irama house musik, membuang berat beban pikiran.
Sungguh nikmat. Jiwaku  terasakan berdiri diterbangkan angin dalam gemerlap awan di langit.

Batinku meminta: “Aku ingin menggabungkan cahaya cinta keabadian di langit dan cahaya cinta keabadian di bumi,“ seruku mengerling pada Yudistira di antara mereka. 

Kupanjatkan beberapa do’a dari berbagai kepercayaan. Maka alam membuka, pada pemunculan sosok Tuhan-Tuhan kepercayaan di bumi. Gambar Budha, Konghuchu, Hindu, Dewi Kuan In, dll... Kehadiran mereka akan membantu segala keluh kesahku.

“Ayo cintaku…“ Batinku memanggil Yudistira.
Alam, menyatukan dua jiwa pada keabadian cinta.
“Engkau cahayaku dan aku cahayamu.“
jiwaku dan jiwa Yudistira saling mengungkap rahasia cinta.
Aku kembali terfokus pada cahaya gabungan antara bumi dan langit.
Jiwaku dan jiwa Yudistira menyatu. Cinta kami bertemu melayang dan mengudara ... 

“Aku sangat mencintaimu..“ungkap jiwa Yudistira.
Jiwa kami seperti bercinta menikmati keindahan alam diselimuti gemerlap jutaan ribu cahaya. 
Kemudian jiwa kami terbang meninggi melewati beberapa lapisan langit tiada batas. Menembusi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Selain itu, jiwa kami bisa berkelana ke berbagai negara dengan kekuatan cahaya untuk mengungkap segala rahasia yang tersembunyi. 


    Jiwaku ingin mengembalikan Brahma dalam pelukanku, jangan sampai ia tertembak GAM dalam tugasnya.

“Brahma, jika tak ada cinta.., kamu tidak akan selamat, di bumi…” ungkapan cintaku pada Brahma untuk melindungi dalam tugas mulianya di Aceh.

Kuakhiri pengelanaan di ketinggian langit. lalu kukembalikan jiwa pada ruangan kerlap-kerlip suasana  gempita hiburan malam.
 
Terasakan jiwa terbebas dari segala keresahan. Sebagai penutup acara, kuungkapkan  rasa syukurku kehadirat Ilahi. Yang telah menentukan cara meditasi, tidak harus pergi jauh menyusur hutan belantara. 
Aku berpikir, seandainya  aku disuruh menyusur hutan dan bertapa dalam goa. Takutnya wujudku berubah menjadi gorilla atau jadi babi hutan bahkan bisa juga  menjadi ratu ular kobra karena aku bukan seorang nabi.

 

 SERAMBI MEKAH
Brahma yang menginap di sebuah asrama daerah Meulaboh, menceritakan via Hp tentang babi hutan yang sering mengganggunya..
Tentang pembakaran rumah-rumah penduduk.Tentang perang tembak-tembakan. Tentang dirinya yang nyaris terbunuh saat Brahma mengawal perdagangan kayu di hutan. 

Suatu malam pekat. Serombongan GAM menangkap Brahma yang menyuruhnya langsung bertiarap dengan todongan laras senjata tepat di bagian kepala Brahma.. 

Dalam kepanikannya, Brahma sudah merelakan kematiannya di tangan GAM. Brahma tidak tahu dirinya bisa selamat dari kejadian itu. Tempo itu yang ia ingatkan adalah ketiga anak-anaknya yang masih kecil serta perjuangan seorang istri yang begitu setia menjalani kehidupan mendampingi Brahma yang selalu ada dalam kesusahan. 
Mendengar semua cerita, aku mengisak tangis. Tiba-tiba saja gambaran sosok Brahma menjadi Yudistira yang sering bercinta di alam cahaya.
“Maafkan aku sayang,Yudistira, cintaku..?!“ lirihku dalam hati. 
Rasa bersalah pada Brahma, menenggelamkanku pada berbagai do’a. Demi keselamatan Brahma semua tirakat kembali kupertajam. Puasa Nabi Daud menjadi wirid wajib yang tidak bisa kutinggalkan.. 
“Untukmu cintaku Yudistira.. “

Gambaran-gambaran tembusan langit bermunculan dengan suara riuh rendah membaur dengan gambaran-gambaran yang tersimpan dalam pikiranku. Semua beban keluar dari otak pikiranku tidak bisa dipertahankan lagi.

Penglihatan seperti melihat layar film selebar bumi mengharuskan menyaksikan  jutaan pasukan-pasukan Rasulullah keluar dari langit begitu gencar. Kulihat juga  seluruh rombongan Kerajaan langit dan pangerannya membawa seluruh pasukannya yang dipimpin seorang pangeran muda nan gagah perkasa yang menugaskannya  mengurung daerah komplik Aceh bagian selatan.

Selain itu, kulihat Nabi Musa membelah lautan diikuti pasukan fira’un. Kemudian juga Nabi Nuh dengan perahunya. kemudian lagi Nabi Khidir serta Nabi Isa turun dari langit berdiri di hamparan lautan luas.

“Kami adalah ayat-ayat keyakinan yang sering kamu bacakan" seruNya "Atas kesucian cinta, kami hadir” sambung semesta alam menyeru padaku.

Beberapa hari kemudian kulihat ada keretakan di bawah laut kemudian cadas besar itu memancarkan air yang di atasnya ada gelombang besar.
“Gempa Aceh …! bagian selatan …, gempa Aceh!” Suara ghaib menyeru padaku berkali-kali dengan seluruh gambaran yang menyilaukan penglihatan mata batinku. Bahkan aku disuruhnya melakukan shalat ghaib untuk jutaan umat.
Aku tidak percaya dengan daya penglihatanku, di luar nalarku.. 
“Bershalat ghaiblah.. sekarang..” serunya lebih tegas.

Jiwaku menangis dan raga mengikuti untuk bershalat ghaib. Waktu itu menunjukan jam delapan pagi dini hari. 
"Allah hu Akbar  Allahummagfirlahum.." Kubacakan do’a shalat ghaib. 
Tanpa terasa aku tertidur dalam sejadah setelah melakukan shalat ghaib.

Jam tiga sore tanpa sengaja aku menonton berita di TV yang menyiarkan kejadian gempa di Aceh yang kejadiannya persis saatku melakukan shalat ghaib. 
Mataku tak berkedip melihat berita menerbangkan pikiranku pada Brahma. Padanganku terperangah melihat keadaan Meulaboh terkena gempa paling parah.  

Ya, Brahma hampir enam bulan menempati  sebuah asrama yang letaknya di pinggir laut  atas tugas pengabdianya pada negara. Dan memang daerah Meulaboh sudah merata oleh air laut. 
Tak terasa air mataku jatuh berderaian. Dadaku menjadi sesak, hati bagai diiris sembilu. 
“Brahma..!" Teriak batinku memanggilnya, terasakan seluruh tulang persendianku seakan hancur luluh.

"Ya, Allah..., inikah keadilan Engkau?” Tangisku mengisak memperhatikan daerah serambi Mekah itu dibumi hanguskan oleh kejadian alam dan aku sudah diperlihatkan bagaimana ribuan korban kematian bergelimpangan.

"ya, Allah apa yang telah terjadi padaku? bagaimana dengan keadaan Brahma? yang atas permintaan batinku dipergikan ke Aceh... Kini Engkau telah menghakiminya dengan kejadian bencana, kenapa harus aku yang Engkau perlihatkan semua ini? dan inikah kecemburuanMu sama dengan kemburuan Yudistira? siapa yang salah diantara kami ya Allah...?"


KecemburuanMu menderu..
Engkau mengambil Sang kekasih di bumi..
Engkau merebut jantungnya dariku..
Engkau melibasnya . Enggak..!.
Ya .. Allah .. ?!
tolonglah beri kehidupan pada Sang Kekasih ..
atau kukejar dia .. dalam buih gelombang ..
Akan kutenggalamkan diriku..
mencari jiwanya ..
Brahma .. tunggulah...!!
  

Kurebahkan tubuhku di atas kasur kemudian kutelusuri gelombang laut dengan kekuatan pikiran. Dari awal kejadian hingga akhir kejadiannya demi mencari Brahma.
“Apakah ia masih hidup?” 
Gelombang tinggi terasakan menghantam diriku, melempar pada sebelum kejadian stunami. Ombak itu bergulung-gulung mengudara menyapu daratan. Jiwaku terasakan berada dalam putaran gelombang, masuk ke dalam  samudra luas yang berusaha mencari Brahma yang tidak ada di dalam lautan luas. Kemudian aku kembali ke daratan meminta kepastian alam. 

Di pinggir laut nan luas. Kulihat mayat-mayat bergelimpangan bangkit dan menghampiriku yang berdiri di atas mimbar, tengah memanggil-manggil jiwa Brahma diantara jutaan umat kematian. 
Dari atas mimbar, sejurus kulihat  Brahma berjalan dengan kelopak mata terpejam melewati mayat-mayat hidup yang berjubel, berdesakan dan berbaris di lapangan luas.  
Kemudian Brahma berdiri bersejajar di atas mimbar bersamaku. Sementara iiwa-jiwa mati itu mempertimbangkan kematiannya. Alam memberi khusnul khotimah dalam kematian jiwa-jiwa mereka. 
“Berdamailah hey jiwa-jiwa yang gelisah.. Kembalilah pada Alammu.. “ ungkapan jiwaku mewakili suara alam.

Debur ombak menyuara riuh, rendah menyimilirkan hembusan angin. 
Kuperhatikan keadaan Brahma begitu mengibakan serta kelelahan dari perjalanan panjangnya. 
Aku bagitu dicekam gelisah merasa bersalah jika Brahma termasuk korban dari bencana yang tidak terselamatkan.

"Brahma?" panggilku penuh keraguan berusaha membangunkan jiwanya.
Brahma langsung mengerjap-ngerjapkan mata berusaha bangun dari tidurnya.
“Kamu di alam mana Brahma?” tanyaku parau menekan kepedihan.
Brahma tersenyum dingin dan terlihat begitu hambar.
"Di alam mana Brahma, jawab?" tanyaku lagi mendesaknya.
“Aku di Alammu,“ jawab Brahma singkat.

Pandanganku menjangkau ketinggian langit menembusi dasar bumi.
“Aku berada di dua Alam?“ paparku menjelaskan.
Brahma menatapku tidak menjawab dalam senyum ketirnya.

“Pulanglah.., istri dan anakmu tengah menantimu!“ ungkapku mencoba menghibur hati, melempar senyum.
Brahma membalas tersenyum di jidatnya terpancar  bercakan cahaya garis bintang. Aku begitu girang mendapat jawaban cahaya, karena itu  merupakan alat mediator dari penyambungan telepatiku.
“Kamu sudah selamat Brahma, tugasmu sudah selesai," hiburku menitikan air mata haru seiring  jiwa Brahma yang menghilang dari pandanganku.

17, Desember, 2004
Rasanya ingin menjeputmu saat kepulanganmu di pelabuhan
membiarkanmu marah, memukulku, menonjok,
            bahkan meletupkan senjatamu di kepalaku
tidak membuatku gentar
Asal kau mengijinkan aku untuk menatapmu,
            melihat seluruh perubahanmu saat turun dari kapal
dan kita berakhir disana
Kukatakan  “selamat datang pahlawanku”
ku serahkan benda-benda yang tertinggal di rumahku
sebagai penggantimu, selama kau pergi
kini di antara kita tidak ada kenangan lagi
Karena dalam tubuhku ada perubahan
sesuatu untuk selamanya
Pulanglah …. demi kerukunanmu
biar semua tertinggal di pelabuhan ini
tenggelam bersama cintaku yang tidak akan kembali padamu


Beberapa hari kemudian setelah kejadian Stunami Aceh. 
Ibunya Brahma yang sering mengisak tangis lewat telepon menanyakan keberadaan Brahma. 
Pagi buta sudah menelponku lagi dengan suara dan bahasa yang sama. Ia begitu mempercayai segala penglihatanku begitupun juga dengan ayahnya yang sangat begitu mengkhawatirkan keadaan Brahma.

“Brahma terlindung Insyaallah bu, di sana ada penyelamat Nabi Isa juga perahu Nabi Nuh,  banyak berdo’a saja bu..” jawabku menenangkannya "aku melihat Brahma berada di satu tempat sedang tertawa-tawa" sambungku menyambungkan pikiran pada jiwa Brahma yang berada dalam kapal menyebrangi lautan luas menuju daratan.

Tujuh hari setelah kejadian tsunami. 
Ibu Brahma mengabarkan berita kegembiraannya mengenai anaknya yang benar-benar selamat dari gempa Tsunami. Bahkan sudah kembali pulang berkumpul bersama anak dan istrinya. 
Selang berapa hari, Ibunya Brahma sengaja  mengundangku dalam acara syukuran keluarga besarnya untuk merayakan keselamatan Brahma di Puncak Cipanas.

Jkt, 19 Desember 2004
Kutatap kepergianmu yang menghilang
dibalik kedukaan
kutatap awan  mengembang sebuah senyum
senyum ketir yang membuatku bahagia
diterbangkan asa
            keberkahan damai tanpa kehadiranmu


Aku menangisi kebodohan selama itu mencintai laki-laki yang bukan tujuanku. Kemudian terjadinya gempa Aceh bagian selatan yang hampir merenggut nyawa Brahma. 

Kutatap lelangit putih dalam kesendirianku.
"Brahma bukan Yudistira" bisik jiwaku.

Awan di langit membaur, gumpalannya terpecah-pecah seiring kenormalan penglihatanku. Kemudian Gambaran di atas langit kuhilangkan dari pikiranku. 

Jiwa kembali ke bumi menemui raga.

Aku tersadar dari lamunanku dengan segala kejadian sebelum stunami itu memporak porandakan Serambi Mekah. 

"hmh, bayangan masa lalu yang membutakan semua pikiranku" keluhku, sambil berlari menuruni tangga menghampiri Girtung Dursasana yang duduk di ruang depan menantiku. 
Sudah menyiapkan air kopi di gelas



 Nenden Salwa & Fauzan Salwa




Tidak ada komentar:

Posting Komentar