Minggu, 29 Mei 2011

KISAH NYATA "MENCARI CINTA ABADI DI BUMI" (1)

Genggam Bumi Merangkul Langit
 NENDEN SALWA

  10-11-2008      
                                                               IBARAT GEJOLAK ASMARA RATU ADIL                                                                                                                                                

Mengungkap seorang Yudistira, tidak segampang menangkap ikan hiu di laut luas dengan amuk badai tinggi hancurkan kapal-kapal pesiar. 
Bukan seorang Drupadi jika tidak bisa menemukan keberadaannya meski perjalanan panjang berliku menghadang setiap langkah menelan segala kepahitan, kaki sudah tidak kuat menapak jiwaku tetap tegar.  
Perpisahan sembilan tahun lalu bukan waktu pendek, teman-teman dekat menganggap aku tengah mengkhayal sebuah cerita picisan yang berkisah tentang derita penyakit melankolia berkepanjangan akibat cinta tak terlaksana.
Ini bukan kisah ‘Romy & July‘..  tapi menyerupai  kisah ‘Rama & Shinta‘ versi modern. Menunjukan cinta keabadian yang satu sama lain saling menguji menuntut kebenaran dari keihklasan hati yang paling dalam.


Siang hari udara gerah segerah sorot mata elangnya yang terus menyelidiki keberadaanku. 
“Di belakangnya, ada dua laki-laki yang membiayai kebutuhan hidupnya.”
"Hidup di kota besar? ya, sewajarnya seorang perempuan seperti dia memanfaatkan orang berduit"
"Ya, kalau enggak begitu bagaimana ia bisa keluar masuk diskotik? menenggak obat terlarang?"
"Cuma carana itu aneh, bisa rapih enggak kelihatan!"
 
Ingin kuterangkan di balik cerita pemojokannya agar tidak main hakim sendiri. Namun jiwaku tidak mampu menggertak sekadar untuk menghentikan penilaiannya.

”Yang satu dari Jerman, satunya lagi dari Singapur, tinggal di Indonesia.” Menyambung perkataan Yudistira bagai penyelidikan kasus di TKP, petugas polisi mencurigai pelaku utama. 
Wisnu sahabatnya mengerling padaku. “Ya, keduanya dimanfaatkan” kilah Wisnu.
“Ke sana bohong, ke sini bohong!“  timpal Yudistira, menyepelekanku
“Biasa tepu, tepuu!”  Begitu dua orang sahabat karib memperbincangkan kejelekanku di suatu penginapan yang sering mereka pergunakan buat berbisnis mengundang kolega-koleganya. 

Kutatap Yudistira dengan sorot kebencian. Kubiarkan ia menelusuri siapa diriku sebenarnya? biarkan saja tahu tentang kebrok-brokanku asal kebaikannya harus juga di pertimbangkan. Hanya orang punya pengaruh besar yang bisa mengetahui keberadaanku dalam tempo singkat. 

Siapa Yudistira yang bisa melindungiku dari cengkraman narkoba? ia melarangku mempergunakan barang terlarang. Bahkan Yudistira tidak mau aku terjerumus ke dalamnya dan aku pun dilarangnya sering-sering masuk diskotik.
Berbagai kabar burung mengenai Yudistira terdengar.  Ada yang mengatakan Yudistira seorang komandan pasukan khusus. Ada yang mengatakan pemegang saham di perusahaan-perusahaan besar. Ada juga yang mengatakan salah seorang ketua  organisasi terkuat. 
Diantara semua aku berharap,  Yudistira adalah seorang ketua mafia jaringan Internasional yang bisa merangkul semuanya. Namun apapun bentuk Yudistira bukan karena tahta harta atau kekuasaan. Semenjak dari awal pertemuan, Yudistira merupakan figur laki-laki sederhana, tenang, berwibawa yang mampu menjerat seluruh jiwaku. Bagiku Yudistira adalah seorang pangeran langit yang diturunkan ke bumi guna menyelamatkan aku.
Segala harapan tidak bisa dijadikan sandaran setelah mengetahui Yudistira sudah beristri serta dikarunia seorang putra.  
"Aku tidak boleh menghancurkan kebahagiaan orang  lain..."   Begitulah jeritanku ingin selalu menjaga, tetapi kenapa jiwaku sakit? tidak mau menerima kenyataan. 
Wujud cinta tidak bisa lagi memendam api cemburu menjadi bentuk kemurkaan  dan akhirnya meledak  seusai pulang dari dunia hiburan. 
Ketika itu kami hendak beristirahat dalam sebuah penginapan. Kulihat tempat tidur kecil sebelah kanan sudah terisi dua orang laki-laki sebelah kirinya kosong. Rasa kantuk tidak bisa berunding ingin merebah di tempat tidur kecil itu. Namun Yudistira mendahului menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur membuatku kesal. Tapi akhirnya kurebahkan juga kepalaku di samping kakinya tanpa perdulikan reaksi Yudistira yang  melihat selonjoran kakiku di samping kepalanya.

Sementara itu, dua orang wanita muda cantik berkulit putih mulus. Hilir, mudik tidak kebagian tempat tidur yang selama di tempat hiburan. Dua wanita ini selalu menyarankan agar gerak gayaku dirubah dengan menyembunyikan kedua tangan di balik saku celana,  menyerupai gerak gaya Yudistira di tengah ke ramaian diskotik.
Aku yang ingin menjadi diri sendiri membebaskan gerakanku sesuai naluri.  Gaya Jim’s Morisean pun kuperagakan ibarat memanggil para dewa, dewi turun ke bumi. 
Terasakan suasana sepi menjadi ramai pengunjung seperti ada pengerahan dari Yudistira. Sebagiannya memperhatikanku. Gerak gayaku menjadi tidak nyaman kemudian kuputarkan tubuh menghadap tembok menyatukan sudut pandang pada kerlipan cahaya lampu. Laser warna hijau, kuning, ungu membawa jiwa menebar keindahan pada suasana entah berantah menyongsong panorama alam damai.


“Drupadi, Drupadi..!”  Tiba-tiba saja, Yudistira dan Wisnu memanggil nama asliku.
Aku terdiam berpikir..
"Kenapa Yudistira tidak memanggil nama samaranku Jahra? bearti Yudistira telah mengetahui identitasku?" 
Kebebasan dalam menggerakan gaya seenak hati menjadi terhadang. Yudistira dan Wisnu  memanggil nama asliku lagi. Dengan pandangan kecewa kuputuskan untuk duduk merenung kemudian memperkirakan Yudistira sudah mengerahkan anak buahnya dan membongkar seluruh identitasku. 
Kesalahan besar jika orang yang dicintai ingin mengetahui keberadaan siapa diriku yang sesungguhnya? Pastinya aku akan merasa terganggu,  maka harus kubunuh segala perasaanku terhadap Yudistira.
Kerlapan lampu disko dengan hingar bingarnya seakan mati dari pandangan. Keramaian pengunjung pun menjadi sebuah ruangan kosong, penuh kehampaan.
Bisikan kalbu menembus dimensi cinta tanpa ujung, tanpa terasa air mata mengalir deras.
 "Yudistira tolonglah aku harus bersikap bagaimana? saat aku harus memutuskan meninggalkan Negeriku untuk menikah? Aku  begitu mencintaimu... karena engkau nyata adanya..?"  Rintihan jiwaku menembos lorong-lorong waktu.
 Yudistira yang duduk di sampingku berdiam diri, memperhatikan keadaanku mengiba. Entah turut prihatin, entah kebingungan. 
"Jahra menangis..?" bisik Yudistira pada seorang temannya. 
Kemudian Yudistira menghindar dan duduk di pojokan. Aku melihat Yudistira menghitung-hitung  bon pengeluaran dan pemasukan tempat hiburan tersebut.
    


“Ngapain wanita dua ini ikut-ikutan pulang?!” gerutu Yudistira berang dengan nada tertahan.
Yudistira tidak mau menyinggung perasaan kedua wanita itu. Aku menilai Yudistira punya kehalusan rasa. Dan tentunya wanita itu sangat dibutuhkan sebagai pelengkap sarana hiburannya. Namun kekesalan Yudistira ditunjukan pada Rintintin yang langsung duduk di sebelahnya.
“Kamu ke belakang dong!” perintah Yudistira mengerling padaku. Mengisyaratkan agar aku berpindah duduk di sebelahnya, hingga Rintintin mengalah duduk di belakang.


Mobil Land Rover keluar dari halaman parkir diskotik seiring musik house yang diputarkan Yudistira. 
Semilir angin menerbangkan embun di pagi hari. Mobil  yang dikendarai Yudistira melaju memasuki jalan toll panjang mengantar jiwaku yang jauh melayang seakan menemui raga dibuai kasih seorang pangeran yang sudah lama menunggu hari bahagia.
Kemudian mobil yang disetiri Yudistira memasuki parkiran penginapan sederhana. 

Kedua wanita itu tidak mau pergi, tentunya kedua wanita itu tidak akan pergi sebelum ada perintah dari Yudistira. 
Kedua wanita itu pernah menjadi mata-mata masuk rumahku guna mengetahui keberadaanku. 
Kedua wanita itu terlalu banyak bertanya dalam segala urusanku termasuk membuka-buka buku harian yang terselip beberapa nomer telepon orang-orang penting kemudian menggali hati dan perasaanku terhadap Yudistira.

Pandanganku kembali terlempar pada Yudistira. Ia tengah mengikuti wanita yang mengenakan rok mini, di atas lutut memamerkan keseksiannya. 
“Dasar bajingan!” gerutuku dalam hati.
Yudistira mengerling mengetahui gejolak kecemburuanku membuat  suasana menjadi canggung dan kaku. 
Dari awal perkenalan dan berebut tempat duduk di sebuah diskotik. Sesungguhnya antara aku dan Yudistira sudah mengakui keanehan yang mampu menggetarkan dua hati. Kehadiran cinta abadi dari  ketinggian langit sudah mewakili sikap perlakuan kami yang sama-sama tidak bisa menyampaikannya dalam bentuk nyata.

"Minum?" ucap Yudistira lirih.
"Sudah cukup" jawabku, berusaha membuang rasa.
Yudistira mengeluarkan permen karet dua buah saat tempat duduk hanya muat untuk satu orang.
"Makasih" ucapku mengunyah permen karet lalu bergerak mencari tempat untuk berjoget lebih memojok  ke belakang.
Dalam kerlapan lampu disko. Jiwaku mebumbung tinggi. Keanehan terjadi melalui perasaanku seiring wajah Yudsitira yang mengingatkanku pada seorang sosok yang pernah kukenal dan sangat begitu akrab. Sosok Yudistira seakan pernah hadir sebelum kelahiranku.

"Inikah figur laki-laki yang ku tunggu dalam hiduku?" pikirku mencoba menatap wajah Yudistira.
Tiba-tiba sinar cahaya keluar dari raut wajah Yudistira yang juga tengah menatapku. Sejenak aku terpana, antara khayalan dan kenyataan sudah menemukan keindahan di alam nyata.
Tidak bisa dipungkuri bahasa cinta mengalir deras melalui pandangan mata menyampaikannya melalui bahasa tubuh namun untuk menjaga 'keakuan'. Aku dan Yusditira berkeras, saling menyembunyikan perasaan.

"Yudistira, kau sudah ada di sampingku.." ungkapku dalam hati.
Tempat tidur kecil tidak juga membuat tubuh kami merapat. Sekelimut rasa ingin bicara jujur  membuka perasaan. Namun harus dari mana mulainya? Ku pincingkan mata mencuri pandang Yudistira yang saat bersamaan Yudistira melakukan hal serupa. Dan saat itu pula telepon bedering-dering.
“Jangan diangkat!” Tegas Yudistira melarang kedua wanita itu yang hampir mengangkatnya.
Sejenak suasana hening... 
Kekakuan terjadi..
Telepon itu berdering lagi.
Yudistira bangkit kesal, bertolak pinggang.

“Sial!” 
Gerutu Yudistira meraih telepon mengutak-atik saluran kabelnya, telepon tidak bisa dimatikan. 
“Pasti dari istriku, siapa pun tidak boleh ada yang berani mengangkat telepon… Ingat!” mempertegas pada kedua wanita itu, juga padaku yang pura-pura budek.
Wajah keras Yudistira sekilas menatapku yang langsung menghadap tembok. Yudistira kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi semula. Inginnya Yudistira membaringkan kepala di samping kepalaku lalu tanpa sadar mendekap pinggangku. Ternyata Yudistira tidak mengikuti. ia tetap  membelakangiku.
"Apakah aku harus mendahului merubah posisiku menyanggah kepala dalam satu bantal lalu mendekap pinggang Yudistira dari belakang?" Pikirku menunggu kehangatan belaian dari Yudistiara.

Rasa kantuk terusir saat telepon berdering-dering tiada henti.  Yudistira tidak perdulikan suara telepon yang begitu mengganggu pendengaranku. Terpaksa aku bangun serta mengangkat telepon itu.
“Ya halau …?!” 
"Yudistira ada?" terdengar seorang perempuan menanyakan keberadaan Yudistira.
 “Ada.., bentar yah” jawabku,  menggeletakan telepon dan memanggil Yudistira.
“Yud, ini telepon dari perempuan..” ucapku.     
   
Tanpa terduga, Yudistira begitu marah. Ia bangkit menyambar telepon dan membantingnya berkali-kali serta memutuskan salurannya.
“Kataku jangan diangkat, jangan diangkat! budek apa?” tandasnya.
Pandangan dinginnya menjadi galak. Inginnya aku menghentikan kemarahannya dengan meminta maaf atas kesalahanku. Namun Yudistira dengan wajah berang merapikan segala perlengkapannya. Dari peralatan mandi hingga pakaian-pakaian yang tergantung di lemari penginapan. Bahkan  dibantingnya terlebih dahulu. 
Dalam tempo beberapa saat aku menyalahkan diri sendiri atas tindakanku. Sejurus terdengar ungkapan dua wanita itu, bahwa  Yudistira ingin beristirahat dalam beberapa hari bersama teman-temannya di penginapan tersebut.
"Yudistira..?"Ucapanku penuh penyesalan dan terhenti melihat wajah keras Yudistira yang masih membanting-banting pakaiannya.
“Sseet … kalau ia marah harus diam, semua orang takut! kalau Yudistira marah” sergah wanita itu.
Aku jadi bagai orang tolol duduk bengong di pinggir kasur memperhatikan gerakan-gerakan keras Yudistira.

"Jangan pulang Yudistira, beri aku kesempatan walau hanya satu jam saja, beri aku waktu untuk bisa memandangmu sekejap saja.." Derasnya ungkapan penyesalan, menginginkan Yudistira kembali tidur dalam satu tempat tidur kecil. Kelopak mata kutahan agar tidak menitikan air mata.

Yudistira memastikan dirinya harus pulang.  Akibat kesalahanku, istrinya mengetahui keberadaan Yudistira. Pastinya dalam waktu dekat istrinya akan menyusul. Kemudian ia akan menyaksikan sinar kecemburuanku menjadi  pertengkaran sengit.
"Aku penyebabnya! aku tidak mau menjadi pecundang.." pikirku. 
Aku harus bisa menenangkan jiwaku. Sejurus kedua temannya yang tertidur terbangun. Begitupun Wisnu yang baru datang menyusul. Tidak ada yang berani mengusik saat Yudistira dalam keadaan berang. Bagai murid telat mengerjakan PR disetrap sang Guru. 
Yudistira tidak berhenti mengemasi pakaian-pakaian tidak berhenti juga menggerutu menyalahkan aku.
“Bisa perang saudara di rumah.. budek apa?!” tuding Yudistira menyindirku. 
Keaslianku muncul disaat terpojok. Kuraih sepatu larasku lalu kuhentak-hentakan kedua kakiku dengan kasar.
“Ehh, kalau emang itu telepon tidak boleh diangkat! kenapa tidak diputus dari tadi?” bentakku menantang.    
Yudistira menatapku bengong diikuti seluruh teman-temannya memandang satu arah padaku.
“Aku mengangkat telepon, karena merasa terganggu! lagian mungkin penting, makanya istrimu itu menelepon!” menyambung lagi perkataanku dengan pandangan menyala-nyala ibarat api tersiram bensin makin berkobar.      “Siapa tahu? salah satu anggota keluargamu ada yang sakit! makanya aku angkat telepon itu!,” tegasku, berjalan menuju pintu.
Ingin rasanya menjerit mengatakan bahwa aku cemburu, karena pangeranku sudah  dimiliki orang lain. 
Kecemburuan kulampiaskan depan pintu yang sengaja kubuka lebar-lebar lalu kubusungkan dadaku menatap tajam Yudistira.
“Aku tidak perduli siapa dirimu? dan aku tidak akan minta uang sepersenpun dari kamu tahu!?” tantangku menumpahkan kemarahan. 
Yudistira nampak terdiam menundukan kepala, wajahnya kian memerah.  Yudistira merasa dipermalukan  depan teman-temannya serta beberapa  anak buah yang tidak berkedip memperhatikanku. 
“Emang siapa dirimu Yuditira?” Bentakan terakhirku seakan menampar wajah Yudistira.
Saat semua dalam keadaan terpana melihat reaksi kemarahanku, saat itu juga kubanting pintu membunyikan dentuman begitu keras. 
Dalam lorong penginapan menuju pintu lift, kupercepat langkah. Setiba dalam ruangan lifi yang tertutup rapat.  Kuledakan tangisku. Aku begitu merasakan kehampaan yang luar biasa. Dan, aku kembali begitu merasa kehilangan hidupku yang selama ini kupertaruhkan untuk mencari figur seorang laki-laki yang  bisa mengembalikan jiwa pada raga yang sudah mati.
Semenjak pertemuan terakhir ke tujuh kali itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Yudistira. Namun sinyal-sinyal kehadiran Yudistira selalu mengikuti setiap langkahku. Yudistira  sengaja memantauku dari berbagai arah dengan mengerahkan para anak buah serta koleganya. 


Paranoidku semakin kambuh. Terobsesi pada cinta  yang begitu ingin dimiliki dengan ketakutan yang begitu melampaui batas. Semua berawal dari perjalananku ke Jerman, Berlin, Austria dan Belanda.


Nakula laki-laki asal Jawa Barat yang sudah menjadi warga Negara Jerman. Sore itu  menjemputku di Bandara Frankfurt. Ternyata Nakula bukan sosok figur yang kucari selama ini dalam mewujudkan cintaku. Sangat jauh dibanding Sadewa,  seorang pemuda turunan Tionghoa yang pernah masuk dalam dimensi cinta pada ketinggian langit. Sehingga hatiku tidak bisa membuka belenggu cinta yang diberikan Sadewa begitu manis dan indah. 


Dipersimpangan jalan. Akhirnya cinta suci antara aku dan Sadewa harus kandas disebabkan perbedaan Ras.

Musnah segala asa setelah berhadapan langsung dengan Nakula yang beberapa bulan sebelumnya hanya mengenal pribadinya melalui internet, surat menyurat terkecoh pada suara di telepon serta foto-foto yang dilayangkannya, tidak mirip dengan asliannya.


Tempo itu, Nakula mengendalikan mobilnya di kiri setir melintasi jalur kanan jalan. Menembusi hujan salju yang  udara dinginnya mencapai di bawah 6% cel.  Dalam mobil terdengar irama musik lirik jerman mengalun sendu. Nakula memperhatikan pakaian kasual yang kukenakan dan aku tersenyum membenahi mantel warna hitam dan tetap saja rasa dingin itu menusuk, hingga ubun-ubun.
"Pake slayerku, tutup rapat-rapat lehermu" ucap Nakula membuka slayer dari belitan lehernya.
  Kulemparkan pandangan pada jalanan yang begitu kosong dan luas. Gunung-gunung, pohon-pohon asri penghijauan terbungkus lapisan salju. Menonjolkan warna  putih cemerlang menghiasi alam raya. 
Di sepanjang jalan, tidak ada kata lagi yang terungkap selain takjubku pada seluruh pemandangan yang kulalui menutupi kekakuan saat mobil terus melaju menuju kota Essen persisnya Negara Hitler.
Dihadapi dengan lingkungan yang serba kaku, ternyata  Jerman bukan merupakan sumber inspirasi masa depanku. Peradaban menoton yang berpatok pada adat  Dimana seseorang harus tepat dengan waktu. Jika telat sedikit saja kesempatan baikpun akan menghilang begitu saja tanpa kompromi. 
Seperti pada jamuan makan malam yang diadakan di apartemen sahabatnya Nakula, undangan utamanya merupakan menu  hidangan minum teh special. Akibat telat hadir. Aku dan Nakula tidak bisa mencicipi hidangan teh tersebut, karena jadwalnya sudah terganti  dengan  minuman red wine.
Keseharian watak orang jerman yang kutemui terlihat berwajah tegang, serius, tidak mempunyai waktu berbasa-basi sekadar mengukir tawa. Mereka hanya bisa menikmati suasana kebersamaan pada saat hari perayaan Karnaval yang mampu mendatangkan keramaian di pusat kota. Mewajibkan warganya mengenakan pakaian tradisional dari berbagai budaya di seluruh dunia. Waktu itu Nakula mengenakan pakaian khas Jawa barat tokoh Kabayan.
Hari itu begitu menyenangkan. Aku dan Nakula berjejal berteriak memperhatikan pertunjukan pesta pawai Karnaval yang menonjolkan pakaian tradisi adat leluhur bangsa Jerman. Dilengkapi kesenian tradisional  budaya yang didatangkan dari berbagai manca Negara. Ditampilkannya juga seni ‘Marawis’ mewakili Indonesia. 
Aku begitu merasa jadi manusia kerdil diantara orang-orang yang tinggi besar. Tentunya aku tidak mau kalah tinggi. Kemudian aku naik ke pembatas jalan dan berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik. 
“Wuueeyy ...!” Sungguh nikmat teriakanku bercampur bahasa sunda, mengalahkan teriakan orang-orang jerman.

Hanya pada saat itu saja aku merasakan suasana ramai penuh keakraban. Semenjak usai pesta karnaval. Keramaian hanya bisa dirasakan di tempat makan bakso yang berjarak dua jam menempuh perjalanan dari kota Essen menuju Doselrdof. Maklum di Jerman tidak ada pedagang keliling. Dari hari ke hari ibarat tinggal di komplek pemakaman dilengkapi bangunan-bangunan apartemen yang tidak memiliki nilai artistik. 

"Belum pajak-pajak penghasilan, bagi pengusaha besar pajak itu tidak bermasalah, lain lagi  bagi tukang cukur yang belum tentu ada pengunjung.." keluh Nakula di suatu malam, mengungkapakan selama menjalani kehidupannya di Negera Jerman. 
Nakula begitu ingin  kembali menetap di Indosnesia. Namun ia tidak akan mampu mengenang kejadian masa silam, dimana seluruh keluarganya terussir dari negaranya sendiri akibat  korban politik. Diceritakannya juga Bapak kandungnya seorang pejabat petinggi negara yang dikuburkan di makam pahlawan.
"Sebenarnya enak tinggal di Indonesia." Saran Nakula menekan segala kepedihannya.

Dari keluhan Nakula, membuatku  bangga menjadi warga Indonesia yang masih banyak peluang dan toleransi untuk mengekpresikan segala kemampuan diberbagai bidang usaha.  Namun orang Indonesia  bermayoritas pemalasan berdampak pada kecemburuan sosial, tidak mau menerima keberhasilan orang lain. 
Coba renungkan.. 
Harus seperti apa memulai hidup dari keterpurukan? semua kembali pada diri sendiri hendak seperti apa. Seperti diriku yang sudah hilang keseimbangan? jiwa berada di persimpangan jalan mencari cinta sejati yang tidak kunjung datang pada akhirnya salah melangkah lalu kemudian tersesat.


"Nakula, ini malam hari raya idul fitri aku ingin mengucapkan hari lebaran buat Ibu dan keluargaku"  Ucapku, di suatu malam usai merapikan belanjaan bahan pokok utama yang tidak ada di negara jerman dan harus pergi ke negeri Belanda. 
"Telepon saja nanti pada jam dua belas malam, berarti waktu Indonesia menunjukan jam enam pagi" jawab Nakula memperhatikan jam dinding.

Malam dingin itu, sengaja aku menunggu waktu tengah malam  hingga hati begitu gembira saat mendengar suara Ibuku.  Kulontarkan kata maafku yang tidak bisa hadir disuasana hari besar bersama keluarga.

"Enggak ada Drupadi Ibu senang, tenang tidak ada yang membuat cape..."  Ungkap ibuku tiba-tiba.
Tidak menyangka jawaban seorang Ibu terhadap anaknya yang jauh di seberang benua sungguh melemahkan segala persendianku. 
"Kenapa mulut ibu begitu kejam padaku?" Beberapa kata terlontar di hadapan Nakula yang memperhatikan sendu sedan tangisku. "Jawaban ibu sungguh menyakitkan, aku seorang anak yang tidak diharapkan kelahirannya.."  Sambungku lagi semakin mengiba.
Nakula hanya berdiam melihat tangsiku semakin menjadi dan aku menyadari telah membuat suasana riang menjadi galau lalu kupendam segala kecewa menjadi sebuah tawa lepas. 

Terpikirkan sewaktu pergi ke Jerman, aku hanya bisa memberi adikku Kalajengking untuk membayar kerusakan mobil yang kutitipkan. Dan selama di Jerman mobil itu sering mengalami kerusakan hingga terpaksa Nakula mengirim permintaan Kalajengking, sementara Ibu yang terbiasa mendapat kemudahan soal materi dariku, merasa tidak diperhatikan.
"Hahhaha, inilah bentuk keluargaku Nakula, Ibu sekeluarga tergiur dengan dolar, makanya   mereka menyetujui jika kita cepat menikah.." Ungkapku sengaja menantang, melebarkan tawa.
Rupanya Nakula baru mengerti keadaan jiwaku penuh penekanan oleh tuntutan keluarga.  

Dalam situasi  seperti itu Nakula menyuguhkan minuman-minuman yang memabukan termasuk oasis. Dan aku seperti mendapatkan jalan keluar dari penderitaan. Oasis itu kuhirup tanpa terpikir akibatnya hingga mampu mengantar jiwa pada gelombang tinggi yang berputar-putar tidak ada jalan keluar. 
Kehidupan seperti menjemput kematian, hujan salju tidak lagi mengundang panorama menakjubkan.

Paranoid berlebihan kembali muncul ketika menyusuri bangunan kuno memasuki jalanan gang di pusat kota Amsterdam.  Kala  aku dan Nakula baru usai mengunjungi sahabatku yang tinggal di Osterhood kemudian bertamasya melihat-lihat musium Belanda yang mempergunakan kapal boat, mengikuti arus sungai yang berhenti-berhenti mengunjungi gedung-gedung bersejarah.

Di pusat kota Amsterdam. Aku sempat berfoto-foto di antara burung-burung merpati yang mengepakan sayapnya lalu tebang melayang hinggap berkelompok pada orang-orang yang memberinya makan. Pandanganku terpana pada  beberapa orang yang mengenakan bermacam-macam pakaian seragam adat kebesaran  dengan gayanya yang khas guna mencari perhatian pengunjung. 
Salah seorang di antara mereka menyenggolku mempergunakan tongkat menghalangi langkahku lalu mengulurkan tempat penyimpanan uang padaku yang hanya tersenyum-senyum tidak mengerti sikapnya. Ku lihat Nakula  mengabadikan tustelnya kemudian berlari ke arahku sambil merogoh saku  memberi upah uang logam pada orang tersebut yang langsung memberi hormat dan memberi jalan.
Jenuh seharian jalan. Aku dan Nakula beristirahat di sebuah penginapan menunggu hari gelap untuk  mengunjungi sebuah café yang bebas dari jeratan hukum. Maksudnya tempat  tersebut membebaskan para pengunjung  cafe untuk mempergunakan bermacam-macam narkoba sekehendak hatinya.  

"Jika terjadi pembunuhan gimana?" tanyaku,  memperhatikan jalanan yang bersalju.
"Yah bebas, selama orang itu berada dalam lingkungan itu" jawab Nakula, menggandeng pundakku lebih erat.
"Gimana seandainya terjadi perkosaan?" desakku.
"Makanya kamu jangan jauh-jauh dariku"  tegas Nakula.
"Hmh.. aneh, lucu juga ya.. jadi penasaran ingin segera melihat tempat itu"
Nakula lebih merapatkan tubuhnya padaku.
"Ini kita memasuki daerah garis hitam"
"Apa?" tanyaku terkagetkan.


Kulihat beberapa orang kulit hitam tinggi besar hilir mudik memperhatikan langkah kami.
"Kamu jalannya harus lebih tenang!" saran Nakula mengundang kegalauan.
Tiba-tiba langkahku terhenti, topi kupluk ala mesir yang menutup kuping nyambung keslayer tidak menghangatkan rasa dinginnya salju, tubuhku mulai menggigil gemeletek memperhatikan orang-orang kulit hitam tinggi besar mengikuti di belakang, lalu menyusul langkah kami  dan langsung  menawarkan berbagai jenis narkoba mempergunakan bahasa Inggris campur Belanda. 
             "Want to find stuff what's good? all of us there"
"vit.. oasis.. ? wat wil je.."
"oooh.. laat er..!" 
Nakula yang selalu menyiapkan sebuah pistol di balik saku mantelnya sudah terbiasa menghadapi situasi seperti itu.


Di sudut pilar remang cahaya Nakula menguji heroin dengan mendenguskan lubang hidungnya diperhatikan tiga orang kulit hitam tinggi besar yang berebut menawarkan barang narkoba. Pada saat terjadi transaksi tiba-tiba empat orang polisi berpakaian kasual yang dilapisi pakaian musim salju menghadang  dan langsung membekuk dua orang kulit hitam yang langsung digiringnya menuju jalanan gang utama. 
Melihat situasi kurang aman Nakula langsung menginjak serbuk narkoba mempergunakan kaki kanannya  guna mengecohkan pandangan dua orang intel polisi yang menginterogasi keberadaanku dan Nakula.
" Weet je wat dit gebied?"
"Sorry I am from germany .. I really wrong road  " jawab Nakula membela diri.
Sementara seorang intel polisi satunya lagi tidak lepas memperhatikanku yang gemetar ketakutan berderaian air mata. 
"Ho..oh, you carry a gun" tanya seorang petugas intel polisi pada Nakula.
"Ik droeg een pistool alleen voor de bescherming van" jawab Nakula meyakinkan.
 Setelah tidak mendapatkan barang bukti, intel polisi itu mengeluarkan surat bukti pelanggaran pada kami yang sudah memasuki jalur hitam kemudian mendendanya sebesar $2000. 

Sepulangnya. Disepanjang jalan menuju jalan utama, kakiku sering terpeleset menginjak gumpalan salju yang semakin menebal. Rasa dingin menusuk pori-pori kulit seakan menyongsong kematianku. Tubuhku semakin gemetar merasa dikuntit oleh orang-orang kulit hitam yang siap menjebloskanku dalam jeruji besi. Terbayangkan aku akan tertangkap dan namaku akan terpampang besar-besar di media masa. 
Paranoidku semakin merembah tak bisa di cegah. Peluk dan cium Nakula disepanjang jalan yang berusaha menghiburku menjadi ledak tangisku.

"Aku ingin pulang ke Indonesia, aku ingin pulang!" desakku ketakutan.
"Sssstt.. honey, honey... colm down..!"
"Nakula jangan menahanku di sini, kembalikan pasporku aku ingin pulang.."

Nakula berusaha menenangkan aku dan membawaku masuk sebuah restoran. Di tempat itu, Nakula menyuruhku meminum serbuk narkoba campur coca-cola.
"Ini akan membuatmu tenang.. ayo minum, jangan mencurigan.. di sini sedikit aman.."
Kuperhatikan beberapa pengunjung restoran sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Sementara Nakula mengenduskan hidungnya menikmati serbuk yang ditarohnya di atas meja.
Reaksi obat itu sungguh luar biasa. Jiwaku begitu merasa damai mengembalikan kekuatan fisik.
"Kamu tidak boleh pulang.., sebab jika kamu pulang diantara kita ada yang terbunuh.."
"Apa?" tanyaku aneh dan mengira-ngrira maksud ungkapan yang terlontar dari mulut Nakula dan seperti harus diabaikan begitu saja, tidak boleh dipertanyakan lagi...

Terhapus harapan sudah semua mimpi ibu yang sangat ingin melihat pemain sky di atas salju. Adik nomor lima bernama Kelabang ingin mengumpulkan ke empat anaknya di rumahku jika aku tinggal di Jerman. Serta adik bungsu perempuan Merpati ingin kuliah lalu bekerja ikut bersamaku menetap di Jerman. Aku begitu ingin sekali membuat keluargaku bahagia maka kuikuti langkahku menuju ke Jerman. 
Dihadapi pada kenyataan. Semua mimpi menjadi butiran bola api yang siap meledak ketika Merpati memutuskan menikah dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Aku bersedia membujuknya dan sanggup mengeluarkan  segala pembiayaan jika Merpati berkehendak ingin menggudurkannya untuk meneruskan ke perguruan tinggi IGI. Menjadi seorang sarjana sebagai pengganti kegagalan Kelabang dan Kalajengking.  
 
Inilah jawaban terbaikku harus kembali pada keabadian cinta, dimana keabadian cinta itu bertempat tinggal, siapa orangnya? Jika salah memilih maka akan terjadi bencana-bancana di bumi. 




Sinyal-sinyal Yudistira melalui anak buahnya selalu menggagalkan pernikahanku dengan orang yang hendak meminangku. Ibarat penyakit, ia akan mencari borok-borok dalam tubuhku entah penyakitnya yang harus dibunuh? atau diriku yang sudah berkali-kali bunuh diri tidak mati-mati berkali-kali koma masih diberi nafas. 
Semenjak bertemu Yudistira jiwaku terguncang.


Sembilan tahun lamanya aku bertirakat jiwa dan raga ingin mendapat jawaban, apabila berjodoh? dipersatukan apabila bukan? ya, dipisahkan. 
Pada akhirnya setelah pencarian menyusur pada ketinggian langit, aku mendapat jawaban dari seorang teman yang mengetahui keberadaan keluarga Yudistira. Dengan segala tekad kudapati ibunya Yudistira setelah aku meminta tolong pada seorang temanku bernama Cerewet.
Rencana Cerewet akan berpura-pura mengenal para Ibu Majelis Taklim setempat dimana ibunya Yudistira termasuk anggota ibu-ibu majelis taklim tersebut.  Aku terinspirasi mengenakan cadar serba hitam persis kura-kura ninja. Terhubung di antara Ibu-Ibu Majelis Taklim ada yang mengenalku termasuk Pak RT yang pernah kudatangi sebelumnya.

Seusai terawih berjemaah. Para Ibu Majelis Taklim yang curiga dengan kehadiran kami di tengah mereka, menggiring kami menemui ibunya Yudistira dihadiri Pak RT setempat. Penerimaan yang kaku membuat aku dan Cerewet seperti menghadapi ruang sidang tertutup, meski demikian aku merasa begitu gembira dapat bertemu muka dengan figur ibu yang dari rahimnya melahirkan seorang Yudistira. 

Segala pengharapan tercurah padanya tetapi harapan itu sirna.. Bagai ditelan gelombang.. 
“Pak RT, nih orangnya yang ngaku pernah tinggal di sini, kenal ama kita-kita ’katanya’ Pak RT kenal enggak?“ 
Nada suara ibu Yudistira menderu-deru bagai pesawat hendak take-of mengudara.
Kulempar pandang kearah foto-foto berfigura. Tidak terlihat foto Yudistira dalam ruangan.
Pandangan Pak RT terpusat pada Cerewet yang tubuhnya gemetaran menahan pipis.
“Di mana ya kita pernah bertemu, kapan, RT-RW berapa?“ tanyanya bijaksana.
Cerewet gagap “Eh … masa bapak, eh.., enggak kenal, aku kan pernah tinggal,“ tersendat salah tingkah. 
Aku yang mengenal daerah tersebut nyeletuk pelan ingin menyampaikan pada Cerewet tetapi di sampingku terhalang Ibu Ketua Majelis Taklim yang sebentar-bentar melirikku curiga.
“RT IO, RW II“ desakku.
Cerewet cengengesan bingung, sebentar-bentar membenahi jilbab yang melorot terus. 
 “Coba Pak RT mereka pasti bohong!” 
Ketua Majelis Taklim memvonis. 
“Lihat KTPnya, catat alamatnya kita selidiki,“ nada suara ibu Yudistira naik tiga oktaf.
“Betul, mana KTPnya,“ Ketua majelis, suaranya agak mejosofpran.
Cerewet salah tingkah mengeluarkan KTP dalam tas bahuku yang kutitipkan. Apabila dia mengeluarkan KTPku berarti, terbongkarlah penyamaranku.
Ketua majelis menatapku tajam,  bagai melihat teroris bom yang siap meledakan tempat-tempat pariwisata agar investor pada ngabur. 
“Mana satu lagi, siapa namanya?“ tanya Ibu Yudistira curiga padaku.
Aku mengerling yang memang hanya bola mataku saja yang terlihat kuyu. 
“Jahra“ jawabku pelan hampir tak terdengar.
Ada enaknya sembunyi di balik cadar bisa mencibir melihat ibu-ibu majelis yang dari semenjak pertemuan selalu menanyakan ke-Islamanku.

“Maaf yah, di sini tidak ada Islam yang menutup wajahnya, sampai ketutup semuanya” katanya, ketakutan.
 Aku mengangguk, risih juga mengenakan yang serba tertutup. Ingin rasanya membuka semua penyamaran mendahului gerak langkah ibu-ibu yang tersendat-sendat seperti keong. 
“Islam apaan, ini namanya?”
Pertanyaannya menyambung pada ibu-ibu yang berjalan di sebelahnya.

Temanku yang memahami torikat menuturkan. Islam sekadar nama yang dibesarkan, ke-Imanan tergantung hati. Banyak Islam penyebar fitnah hingga terjadi kerusuhan-kerusuhan mengatas namakan Islam. 
Tetapi bagiku sama dengan Agama adalah rumah yang harus selalu bersih terawat menerima para tetamu berkunjung mengibaratkan jiwa mempunyai raga bagai aku dan Yudistira.
Cerewet menoleh kearahku, “maaf tadi tergesa-gesa, KTP temanku, enggak terbawa”, paparnya gemetaran aku mengangguk.
 “Iya!” jawabku terhalang cadar.
Ibu Yudistira yang pernah berkecimpung di dunia politik tidak berhenti sampai di situ, ia terus bertanya dengan lugas penuh penekanan. 
Merasa terpojokan, Cerewet akhirnya membuka namaku yang sebelumnya kuantisipasi, jangan sampai menyebut namaku!
"Wadaouww gawat!" pekikku dalam hati.
Ibu Yudistira mendengar namaku disebut, bola matanya yang galak menyerang pedas. Ia menuduhku mengejar-ngejar Yudistira bahkan menerornya terus menerus melalui telepon rumah hingga semua pintu dikunci rantai babi atas saran Yudistira.

“Tahu enggak, si Drupadi itu loncat pagar?“ 
Para ibu-ibu berdecak-decak mengomentari jelek atas kenekadanku. 
Ku sabarkan hati dengan cara berwirid tidak putus, niatku berkunjung hanya sekedar ingin mendapat jawaban pasti serta membuka  silahturahmi.
Ibu Yudistira memaparkan pengejaranku, mendatangi para saudaranya di Bandung. Dikatakannya juga bahwa aku orang yang tidak bisa dimengerti.
   “Peristiwa sembilan tahun, kenapa baru sekarang dibuka!” tandasnya meninggi “maunya apa si Drupadi itu, enggak jelas! apa dia penasaran sama si Yudistira, gitu?”.
Pandangannya  terbagi pada ibu-ibu yang saling pandang, ada yang bergidik mungkin gambaran sesosok aku bagai ulat gatal berbaris.
“Bayangkan gara-gara si Drupadi! penyakit jantungku kambuh lagi sampai flu begini, dada sesak juga kencing manis jadi enggak sembuh-sembuh.“
Perkataan Ibu Yudistira agak  terbatuk-batuk, mengibakan. 
“Bayangkan, penyakitku sampai komplikasi begini,” tandasnya.
Aku bingung "lo enggak nyambung ceritanya’" tepisku, dalam hati kupandangi  wajah ibu Yudistira penuh selidik. "Ibuku biasanya komplikasi, ketombean dengan rombengan" selorohku menghibur hati.

Ibu Yudistira menceritakan  tentang surat yang kulayangkan hanya merayu ibunya bukan merayu Yudistira. Semua perkataan ibu Yudistira memutar balik fakta. Ungkapan Ibu Yudistira seharusnya terlontar dari mulutku terhadap Yudistira.
“Apa sudah gila si Drupadi itu?”
Perkataan terakhir, mengakibatkan kelopak mata Cerewet berkaca-kaca menahan tangis lalu melirikku, aku juga  terpancing melirik Cerewet. Begitu ingin rasanya aku berontak membuka cadar dan menyerangnya untuk menjelaskan segala kegilaan Yudistira terhadapku. 
Ibu Yudistira terfokus pada Cerewet juga padaku.
“Bilang si Drupadi! jangan ganggu-ganggu lagi anak saya!” telunjuk membentik, “si Yudistira itu sudah punya istri mereka sangat bahagia, jangan mengganggu kebahagian mereka!”
Bagai disambar petir siang bolong, kekuatanku seraya melemah bagai pohon beringin dihantam angin puting beliung roboh hingga ke akar-akarnya.
Ibu Yudistira pun membanggakan istrinya Yudistira yang sangat cantik, setia dan baik hati. 

"Selain cantik istri si Yudistira itu membelikan ibu obat-obatan mahal, lihat?"
Ibu Yudistira memamerkan obat-obatan yang masih terbungkus plastik yang disambut decak kekaguman ibu-ibu majelis Ta'lim.
"Ibu seandainya ibu tahu ketulusanku, jangankan obat nyawa pun akan kupertarohkan demi ibu, jika ibu menerima kehadiranku" ungkapku dalam hati.
Batinku menjerit ingin bersimpuh di pangkuannya untuk mengungkapkan derita cinta yang berkepanjangan.
Ibu Yudistira memperhatikanku.
“Kamu kenal si Drupadi?“ tanyanya tiba-tiba mengarah padaku.
Aku menggelengkan kepala dengan rengkuhan isarat tangan berusaha menyembunyikan perasaan yang begitu menyesakan dada.
“Jangan mau kalian disuruh-suruh si Drupadi!“ membentikan telunjuknya berkali-kali “si Drupadi itu jahat! jahat!“
Serta merta ibunya Yudistira menghina diriku.
“Dulu si Yudistira emang berduit, sekarang ia kere, kere! hanya punya motor jadi kuli!” tegas ibu Yudistira dengan bola mata mendelik-delik.
Ia juga memaparkan tentang istri  keluarga Yudistira, punya kedudukan dan kekuasaan di pemerintahan.                  “Bilang si Drupadi, jika ia berani menginjakan kaki ke sini maka akan ibu laporkan pada yang berwajib”.
Sesaat mataku tak berkedip seakan ibu Yudistira menendang tubuhku kejalanan lalu membiarkan aku menjadi gelandangan, tak bermoral. 
Jika benar-benar terjadi lapor polisi. Maka namaku akan terpampang di berbagai media masa berarti sama dengan membongkar kegilaan kami berdua..
Dari dulu hingga saat ini Drupadi tidak pernah mau mengetahui apa Yudistira itu konglomerat atau melarat, penjahat atau penjahit. Dan aku tidak perduli siapa Yudistira? Yang penting sekarang sudah jelas Yudistira memang nyata, ada dilahirkan dari rahim seorang ibu.


Semenjak berpamitan pulang aku bertanya dalam hati di sepanjang jalan menuju angkot. 
“Kenapa rumah orang tua Yudistira interiornya persis mirif seperti dimimpiku yang berkali-kali muncul? juga lingkunganya memang akrab dengan suasana kerjaku di Production House beberapa tahunsilam.."
Teringatkan juga pada sebuah mimpi dimana aku menemani seorang ibu berjilbab yang usianya lebih muda dari ibunya Yudistira dan begitu mengasihiku.
     Kutenggelamkan semua lamunan yang menghancurkan seluruh harapanku. 
      Meski demikian aku tetap berdo’a agar ibu Yudistira diberi umur panjang, disembuhkan dari segala penyakitnya.

        Matahari senja bersembunyi terhalang gedung pencakar langit dihiasi awan-awan putih memudar memperlihatkan sebuah senyum abadi adalah senyum Yudistira yang mampu melempar cerita pada masa kecil saat aku sering bermain di tepian sungai Citarum  yang bening airnya. 
Dan senyum itu akan selalu mengukir membuatku bahagia...
        "Yudistira, aku ingin kembali ke masa kecil dimana kau akan mengajakku bermain bersama awan.."

FOTO NENDEN SALWA


 B E R S A M B U N G


( WALMIKI penulis Ramayana)

Dalam kata-kata dan tindakan
Aku hanya memikirkan rama
dan hanya rama seorang saja
maka, dewi bumi, terimalah aku
bawalah aku ke dalam dirimu
jika memang benar aku tak pernah mengenal pria
selain rama, maka o, dewi bumi
terimalah aku, bawalah aku ke dalam dirimu
 By: Walmiki

Essen, 03 Februari 1999

Tirai jendela menguak.
Salju  bergumpal – gumpal mengerumuni barisan mobil berderet, samping rumah apartemen. Cahayanya keperakan bak sinar rembulan menyinari pegunungan Himalaya.. Sepi tanpa kehidupan ... 
Satu dua kendaraan menyoroti langkah kakiku gemersik, berpijak di atas jalanan bersalju yang menebal. Kurentangkan tangan, kutengadah memandang langit. Percikan hujan salju memutar, bergelombang menyentuh jemari dan permukaan wajah.
Mengenangkan pada cerita legenda Sinderela. Menantikan suntingan Pangeran yang menjemputnya dengan kereta kencana, membawanya ke dasar lautan hati. Di mana dia bisa berlabuh, berpijak dalam buaian kasih suci karunia Ilahi. 
Mereka dipertemukan untuk menepati perjanjiannya berapa abad lalu. Ketika hidup pada zaman Fir`aun yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Tuhan. Pada jaman Budha yang keluar dari Istana Raja untuk memikirkan nasib manusia di muka bumi ini. Kemudian terlempar pada jaman masa kini sebagai penuntutan alam pada kekotoran...  
                      --- By: Nenden Salwa---























Jkt, 14 Agustus 2004
         Ketika aku ingin mememilikimu
         keresahan memuncak
         Hingga menembusi batas waktu
         Aku jadi gila
         Melihat wajah Tuhan, terukir wajahmu
         Derita cinta memperlihatkan keindahan  fatamorgana
Aku mencintaimu

 By: Nenden Salwa


Jkt, 14 Agustus 2000
          
Aku lelah menghadapi kenyataaan hidup ini
Rasanya aku ingin terlelap selamanya dalam dekapanMu
         DisisiMu, aku merasakan kebebasan alamMu
         DisisiMu aku bisa menikmati kebahagiaan
         DisiMu aku bisa mendapat kelembutan
         Hanya di sisiMu aku bisa kekal abadi selamanya
         Maka hanya di sisiMu aku meminta
         Bawalah aku dalam kehidupanMu
         Ya Maha Raja di Raja, Raja Agung .....
By: Nenden Salwa

Jangan Engkau berikan harta berlimpah
Jika diri menjadi sombong
Jangan Engkau limpahkan rezeki
Jika ku tak bisa mempergunakannya
Jangan Engkau curahkan kekayaan
Jika aku terpuruk di dalamnya
Jangan  juga Engkau berikan aku kemiskinan
Jika aku terhina
Jangan juga Engkau tanamkan aku dalam papa
Jika aku harus meminta
Jadikanlah aku sebagai tujuanMu dan tujuanku
 By: Nenden Salwa


 Agustus, 2004.
Kerak lapisan bumi bergerigil tajam bak tombak baja siap menancap, menggeliat, menekuk, mengelepar, melintang menghampar menutup lautan luas, lalu terpecah-pecah menjadikan bebatuan terjal panas berasap. Merobek separoh tempat berpijak ... ‘Air laut menjadi gelombang pasang’.
 By: Nenden Salwa



 KAU ITU AKU
By Menyus

Aku tak pernah mengatakan tidak padamu sayang
Aku paham benar tentang dirimu
Aku juga mengerti yang kau mau
Aku juga tak mau membuat dirimu kecewa
Apalagi membuat dirimu menangis.......tak akan
Tak perlu berucap
Bahasa tubuhmupun mampu kuterjemahkan
Setiap langkah kehidupanmu adalah jantungku
Kau tak akan pernah memaksa jantungku berhenti
Kau tak pernah membuat beban hidup kita terasa berat
Aku tak pernah berhenti memandangmu
Karena kau kupandang dengan mata batinku
Mata batin yang tak pernah tertutupi kabut kebohongan
Aku tak pernah berhenti mengagumimu
Karena kuucap dengan hati dan pikiran
Bentuk sebuah cinta kasih yang Fitrah dan bermuara di Pernikahan , dan dikukuhkan kelak di Surga....... atas kehendak-NYA-lah usaha untuk merubah takdir pernikaan kita bisa membuahkan hasil yang baik , amin

Kiriman dari: Santoso Didi 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar